KEPASTIAN HUKUM PERJANJIAN LISAN
TITIN TRIANA SH MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
ABSTRAK
Semua aspek dalam kehidupan kita erat
kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu
berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang
berbentuk lisan maupun tertulis. Saat ini warga masyarakat wajib mengetahui
terutama dalam membuat perjanjian, kesepakatan, agar perjanjian yang dibuat
bisa aman dan sesuai hukum yang berlaku sehingga tidak terperosok ke dalam
perangkap hukum yang dapat merugikan diri sendiri, pihak-pihak yang terkait
dalam perjajian serta pihak ketiga.
Hukum perjanjian termasuk bidang yang
rumit dan dalam penerapannya perlu kehati-hatian yang mendalam. Hal ini erat
kaitannya dengan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, “ Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Dalam praktik selama
ini kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau
ketentuan undang-undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang
berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.
Keywords :
Perjanjian,Perikatan,Kontrak,Persetujuan
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa
semua aspek dalam kehidupan kita erat kaitannya dengan perjanjian. Demikian
pula dalam kegiatan sehari-hari selalu berhubungan dengan perjanjian, kontrak,
kesepakatan dan kesepahaman baik yang berbentuk lisan maupun tertulis.
Saat ini warga masyarakat
wajib mengetahui terutama dalam membuat perjanjian, kesepakatan, agar
perjanjian yang dibuat bisa aman dan sesuai hukum yang berlaku sehingga tidak
terperosok ke dalam perangkap hukum yang dapat merugikan diri sendiri,
pihak-pihak yang terkait dalam perjajian serta pihak ketiga.
Hukum perjanjian termasuk
bidang yang rumit dan dalam penerapannya perlu kehati-hatian yang mendalam. Hal
ini erat kaitannya dengan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, “
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Dalam praktik selama ini
kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau
ketentuan undang-undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang
berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.
Dalam literature hukum
Indonesia, perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang
dikaitkan dengan sumber hukum yan diikutinya. Namun semuanya kembali ke sumber
awal hukum perikatan yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Dari rumusan perjanjian
yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keseluruhan isi
rumusan-rumusan tersebut saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yan
terdapat dalam KUHPerdata seperti berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkna dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih” (Pasal 1313).
Pasal 1313 KUHPerdata
menerangkan secara sederhana pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang
adanya dua pihak yang saling menikatkan diri.
Rumusan hukum perjanjian
terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka
KUHPerdata seperti tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunya, “ Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”.
Ketentuan Pasal 1338
alinea (1) KUHPerdata merupakan pasal yang paling popular karena disinilah
disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga yang menyandarkanya
pada Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya
suatu perjanjian diatur dalam KUHPerdata. Di alah satu pasal yaitu Pasal 1320
berbunyi sebagai beriikut :
“ Untuk sahnya
perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat :
1.
Sepakat mereka mengikatkan
dirinya.
Kesepakatan memiliki makna
bahwa ada persetujuan secara bebas antar para pihak tentang ketentuan yang
diperjanjikan. Dianggap tidak ada kesepakatan jika terdapat penipuan (rangkaian
kebohongan yang dilakukan oleh salah satu pihak sampai pihak yang lain tergerak
hatinya untuk sepakat) dan kekhilafan (salah satu pihak khilaf atau salah
mengidentifikasi kalusul yang dibuat.
2.
Kecakapan membuat suatu perikatan.
Para pihak yang membuat perjanjian dianggap hukum adalah subjek yang
cakap. Yaitu subjek yang mampu mengemban hak dan kewajiban. Cakap secara hukum
adalah orang yang telah dewasa (telah berusia 17 tahun atau kurang dari itu
tetapi sudah atau pernah menikah), orang yang sehat akalnya dan orang atau
badan yang tidak sedang status pailit yang diputuskan oleh pengadilan.
Kedua syarat ini disebut dengan syarat subjektif. Jika tidak terpenuhi
syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu dapat dibatalkan.
Bagaimana caranya ? Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
agar hakim membatalkan perjanjian. Dalam hukum terdapat asas yang mengatakan
bahwa siapa yang mendalilkan/mengatakan sesuatu maka ia harus membuktikan.
3.
Suatu hal tertentu.
Yang menjadi objek perjanjian haruslah jelas dan dapat ditentukan serta
patut. Objek perjanjian haruslah objek yang tidak melanggar perundang-undangan,
ketertiban umum dan kesusilaan. Tidak boleh meskipun telah terpenuhi adanya
kesepakatan dan kecakapan jika objek yang diperjanjikan adalah barang yang
dilarang oleh undang-undang untuk diperdagangkan.
4.
Suatu sebab yang halal.
Kausa yang halal bukanlah motif atau alasan membuat perjanjian tetapi
isi perjanjian, sebab motif atau alasan
yang mendorong seseoran membuat perjanjian tidaklah dipersoalkan oleh hukum. Dalam
perjanjian berlaku system terbuka yang berarti semua orang bebas membuat
perjanjian apapun motifnya asalkan tidak bertentangan dengan
perundang-undangan.
Kedua syarat ini disebut dengan syarat objektif. Jika tidak terpenuhi
syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu batal demi hukum
atau batal dengan sendirinya/otomatis. Hukum menggangap bahwa tidak pernah ada
perjanjian, sehingga tidak perlu proses gugatan seperti halnya tidak terpenuhi
syarat subjektif.
Konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata diatas ? Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku yaitu “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya”.[1]
Guna memberi landasan bagi pelaksanaan
pembuatan suatu perjanjian, maka ada beberapa asas/perinsip di bidang hukum
perjanjian. Asas/perinisp itu merupakan pondasi, tiang atau pilar dari
pembuatan perjanjian, yaitu :
1.
Asas Kebebasan berkontrak
(Sistem terbuka)
Artinya para pihak dalam perjajian bebas
mengemukakan kehednak, mengatur hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi
syarat sahnya perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Kata “semua” menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang
untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak
dilarang oleh hukum.
2.
Asas Konsensualitas
(Kesepakatan)
Artinya perjanjian itu
terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain
perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak tercapainya kata
sepakat meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang dibuat itu
dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang disebut
akte.
3.
Asas Kekuatan Mengikat
Artinya perjanjian yang
dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya perjanjian) mengikat para pihak
untuk ditaati ( Pasal 1338 ayat (1). Perjanjian tersebut hanya dapat dicabut
atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat 2).[2]
Namun perlu
dipertimbangkan bahwa sebagain masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum
yang ada. Artinya perjnjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja
kurang ditaati. Disamping itu dari segi
pembuktian perjanjian lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya
perjanjian dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.
PEMBAHASAN
Untuk dapat memahami dan menerapkan suatu
perjanjian, kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang garis-garis besar hukum
perjanjian. Pada dasarnya, garis-garis besar itu tidak mudah, tetapi dapat
dipelajari sehingga pihak-pihak yang berakad memiliki kepercayaan diri dalam
penerapan perjanjian.
Berbagai buku atau ketentuan
undang-undang menggunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda,
seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan. sebagai pembanding
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menjumpai rumusan sebagai berikut :
1.
Perjanjian;
-
Persetujuan (tertulis atau
lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan
mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu;
-
Syarat;
-
Tenggang waktu;tempo;
-
Persetujuan resmi antara dua
negara atau lebih di bidang keamanan, perdagangan dan sebagainya;
-
Persetujuan antara dua orang
atau lebih dalam bentuk tertulis yang dibubuhi materai, yang meliputi hak dan
kewajiban timbal balik. Masing-masing pihak menerima tembusan perjanjian itu
sebagai tanda bukti keikutsertaanya dalam perjanjian itu.
2.
Kontrak;
-
Perjanjian (tertulis) antara
dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya;
-
Persetujuan yang beranksi hukum
antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.
3.
Perikatan ;
-
Pertalian; perhubungan
-
Perserikatan; persekutuan.[3]
Dalam literature hukum Indonesia,
perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang dikaitkannya
dengan sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal
hukum perikatan yan terdapat dalam Buku III KUHPerdata.
Dalam bidang hukum perdata, hukum
perjanjian/perikatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan
dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang dilakukan sehari-hari.
Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW
yang secara garis besar di bagi atas dua bagian :
1.
Perikatan pada umumnya baik
yang lahir dari perjanian maupun yang lahir dari undang-undang ;
2.
Perikatan yang lahir dari
perjanjian – perjanjian tertentu.[4]
Ketentuan tentang perikatan pada umumna
ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti
jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dan lain-lain. Bahkan ketentuan
tentang perikatan pada umumnya, ini berlaku pula sebagai ketentuan dasar atas
semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis perjanjiannya tidak
diatur dalam BW sehingga perjanjian apa pun yang dibuat acuannya adalah pada
ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 smpai
Pasal 1456 BW.
Dari rumusan perjanjian yang terdapat
dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, keseluruhn isi rumusan-rumusan tersebut
saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yang terdapat dalam KUHPerdata
seperti berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
(Pasal 1313).
Pasal 1313 KUHPerdata menerangkan secara
sederhana pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak
yang saling mengikatkan diri. Rumusan hukum perjanjian terus berkembang sesuai
dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka KUHPerdata seperti
tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdat
yang berbunya, “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengn kesepakatan kedua belah pihak atau alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”.
Ketentuan Pasal 1338 alinea (1) KUHPerdata
merupakan pasal yang paling popular karena disinilah disandarkan asas kebebasan
berkontrak, walaupun ada juga yang menyandarkannya pada pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat
yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam KUHPerdata. Di salah
satu pasal yaitu, Pasal 1320 berbunyi sebagai berikut :
1.
Sepakat
Arti sepakat adalah
kesesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawran dan
permintaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan
tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis (bukan lisan) karena
perjanjian dapat saja dibuat dengan cara tidak tertuli dan juga tidak lisan.
2.
Cakap
Kecakapan adalah
kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan
ditandai jika para pelaku perjanjian telah berumur 21 tahun atau telah menikah,
walalupun usianya belum mencapai 21 tahun. Khusus untuk orang yang telah
menikah sebelum usia 21 tahun tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai
sebelum mencapai usia 21 tahun. Dengan demikian janda atau duda tetap dianggap
cakap walaupun usiannya belum mencapai 21 tahun.
Meskipun ukuran kecakapan
didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, seseorang tidak otomatis
dapat dikatakan cakap menurut hukum. Karena ada kemungkinan dianggap tidak
cakap karena berada di bawah pengampuan (curatele) misalnya karena gila atau
bahkan karena boros.
3.
Hal tertentu
Menerangkan tentang
keharusan objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa
dilakukan tanpa adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak
bisa dilakukan tanpa adanya objek tertentu.
4.
Sebab yang halal
Kata halal bukan bemaksud
untuk memperlawankan kata haram dalam hukum Islam, tetapi bahwa isi perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban
umum.
Rumusan pasal 1320
KUHPerdata ini dianggap mendasar karena menerangkan syarat yang harus dipenuhi
untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut mencakup pihak yang membuat
perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai
perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat
objektif.
Di dalam KUHPerdata, hal
yang mengatur perjanjian jual-beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, biaya tetap dan abadi,
untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang dan perdamaian merupakan
perjanjian yang bersifat khusus.
Perjanjian ini pada berbagai kepustakaan
hukum disebut dengan perjanjian nominaat (bernama). Di luar KUHPerdata, dikenal
juga perjanjian lainnya seperti kontrak production sharing, kontrak joint
venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise. Perjanjian jenis ini
diatur dengan undang-undang yang tersendiri dan biasanya disebut perjanijian
innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat, terutama dalam era globalisasi saat ini.
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal
lima asas penting yang sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas
tersebut adalah :
1.
Asas kebebasan mengadakan
perjanjian
Kebebasan mengadakan
perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku di dunia. Asas
ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
Pasal 133 ayat (1)
KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan mengadakan
perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan kepada para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk :
a.
Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
b.
Mengadakan perjanjian dengan
siapa pun;
c.
Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan dan persyaratannya;
d.
Menentukan bentuk perjanjian
yaitu tertulis atau tidak tertulis;
e.
Menerima atau menyimpang dari
ketentuan perundang-undangan yang bersifat rasional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya
memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti
undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian
dengan isi apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan
batasan-batasan hukum yang berlaku.
2.
Asas konsensualisme
Dapat ditelusuri dalam
rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan
tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan undang-undang
menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis atau
yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
(misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal
dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3.
Asas pacta sunt servanda
Asas ini diterjemahkan
sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”. Asas pacta sunt servanda menyatakan hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi atau
campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
4.
Asas itikad baik
Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik’. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak kresitur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan atau keyakinan
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
5.
Asas kepribadian
Adalah asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada umumnya tak seorang
pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu
janji, kecuali untuk dirinya sendiri “. Pasal 1315 ini berkaitan dengan rumusan
Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku diantara
pihak-pihak yang membuatnya”.
Kedua pasal ini (pasal
1315 dan 1340) menerangkan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang
membuatnya sehingga tidakk boleh seseorang melakukan perjanjian yang membebani
pihak ketiga. Memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika
sesuai dengan yang diatur dalam Pasa 1317 KUHPerdata, “Lagi pula diperbolehkan
juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga,
apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri,
atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji
seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh
menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak
mempergunakannya”.
Rumusan Pasal 1317
KUHPerdata ini merupakan pengecualian dari Pasal 1315 KUHPerdata yaitu
membolehkan seseoran berjanji, yang dalam perjanjian tersebut memberikan hak
kepada pihak ketiga. Apabila pihak ketiga sudah menyatakan akan mengunakan hak
tersebut maka pihak yang memberikan hak kepada pihak-pihak ketiga tadi tidak
boleh menariknya kembali.
Didalam setiap perjanjian
atau kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan identitas dari
subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili dan kewarganegaraan.
Kewarganegaraan erat kaitannya dengan ketentuan hukum apakah orang dapat
melakukan tindakan hukum tertentu, seperti jual beli tanah milik, yang mana
orang asing tidak data memiliki tanah hak milik di Indonesia.
Selain lima asas diatas, masih
ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat dipertanggung jawabkan
secara moral. Beberapa dari perinsip dasar tersebut adalah :
-
Asas kepercayaan
-
Asas persamaan hukum
-
Asas keseimbangan
-
Asas kepastian hukum
-
Asas moral
-
Asas kepatutan
-
Asas kebiasaan
-
Asas perlindungan
KUHPerdata tidak menyebutkan secara
eksplisit kapan suatu perjanjian mulai berlaku dan baaimana tahap-tahap
terjadinya perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata hanya menyatakan perjanjian eksis
berdasarkan consensus para pihak dan tidak memberi penjelasan rinci kapan suatu
perjanjian mulai eksis setelah melalui tahapan-tahapan pembentukannya. Lahirnya
suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukumn perikatan dalam bentuk hak dan
kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang merupakan akibat hukum suatu
perjanjian.
Untuk menyusun suatu perjanjian yang baik dan
fungsional, diperlukan persiapan atau perencanaan yang sungguh-sungguh, matan
dan melalui diskusi atau pembicaraan awal yang mengikat. Para pihak yang
terlibat dalam perjanjian harus menyiapkan waktu khusus yang dianggap cukup
untuk membicarakan maksud dantujuan pengadaan perjanjian dengan
bahasa/terminology yang dipahami para pihak.
Tahapan penyusunan perjanjian biasanya
dilakukan dalam tiga tahap :
1.
Pra penyusunan perjanjian
Sebelum suatu perjanjian
disusun, para pihak memperhatikan hal-hal yang menyangkut catatan awal, resume
pembicaraan awal, dan pokok-pokok yang telah dijajaki terdapat titik temu dalam
negoisasi (perlindungan) pembuatan perjanjian awal.
Menginat pra-penyusunan
perjanjian merupakan landasan perjanjian final maka setiap kesepakatan ada
baiknya dituankan dalam nota kesepahaman atau lazim disebut Memorandum of
Understanding (MoU).
Taha-tahap pra-penyusunan
perjanjian sebagai berikut :
a.
Negoisasi
Merupakan sarana bagi para pihak
untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancan demi mencapai kesepakatan
sebagai akibat adanya perbedaan pandangan atau tafsir terhadap suatu hal yang
berkaitan dengan kerangka perjanjian. Biasanya saat negoisasi inilah
masing-masing pihak melemparkan penawarannya terhadap yang lain sehingga
tercapai kesepakatan. Dalam praktik proses negoisasi ini ada kalanya singkat
dan lansung masuk ke intisasri yang diperjuangkan (contoh, perjanjian sewa
motor di antara teman sekantor), tetapi ada kalanya alot, baik karena belum
bertemu keinginan soal harga, soal kondisi objek perjanjian, soal pembayaran,
dan soal resiko barang atau asuransi.
Demi suksesnya proses negoisasi maka
para pihak perlu memiliki persiapan yang matang menyangkut hal-hal berikut :
-
Menguasai kansep atau rancangan
perjanjian atau untuk subjek yang akan diperjanjikan;
-
Menguasai peraturan
perundang-undngan yang melingkupi apa yang diperjanjikan;
-
Mengidentifikasi poin-poin yang
berpotensi menjadi masalah;
-
Percaya diri dan tidak mudah
menyerah.
b.
Pembuatan Nota Kesepahaman
(MoU)
Sebelum menyusun nota kesepakatan, para pihak perlu melakkan
identifikasi diri apakah sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan, seperti
cakap hukum, umur, tentang objek, tempat domisili yang jelas dari masing-masing
pihak. Biasanya masalah ini tidakk ditelusuri secara teliti, terutama diantara
mereka yang awalnya saling mengenal. Posisi hukum dari objek perjanjian harus
jelas identitasnya, temat berada, kondisi fisik dan kedudukan hukumnya
(misalnya apakah barang tersebut terikat gadai atau tidak).
Setelah negoisasi selesai dilakukan , tahapan pra-perjanjian selanjutnya
adalah membuat Nota Kesepakatan (MoU) yang merupakan pencatatan atau penyusunan
pokok-pokok persetujuan hasil negoisasi awal dalam bentuk tertulis. Walaupun
belum merupakan suatu perjanjian, nota kesepkatan mempunyai peran sebagai
pegangan untuk melakukan negoisasi lanjutan atau sebagai dasar pembuatan
perjanjian.
Perlu diperhatikan bahwa yang terpenting dalam pembuatan nota
kesepakatan adalah mencantumkan poin-poin penting atau kata kunci dalam
pembicaraan negoisasi yang sedang dilakukan. Penulis nota kesepakatan (MoU)
sebaiknya ikut terlibat dalam negoisasi atau mendapat dokumen tertulis atau
rincian yang lengkap dari hasil negoisasi.
Mou sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional Indonesia, tetapi
sering dilakukan, terutama pada perjanjian proyek-proyek besar. Dari segi hukum
nota kesepakatan diangap sebagai perjanjian yang setengah jadi atau simple,
tidak disusun secara formal dan dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan atau
merupakan perjanjian pendahuluan yang kurang jelas sanksi hukumnya.
2.
Tahap penyususnan perjanjian
Salah satu tahap yang
menentukan dalam pembuatan suatu perjanjian adalah tahap penyusunan kontrak.
Dalam tahap ini disusunlah kesepakatan yang dicapai dalam negoisasi dan yang
dituangkan dalam nota kesepakatan (MoU) serta perundingan lanjutan hinga
dicapainya kesepakatan untuk bergerak kea rah pembuatan bentuk formal dan
kesepakatan itu menjadi suatu perjanjian.
Menyusun suatu perjanjian
memerlukan ketelitian dan kejelian dari para pihak maupun para notaries atau
pejabat lainnya. Karena apabila keliru merumuskan nama dan data pokok,
perjanjian itu mungkin menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya di kemudian
hari. Pada umumnya, dikenal lima fase dalam penyusunan perjanjian di Indonesian
sebagai berikut :
-
Membuat konsep (draft) pertama
prosesnya meliputi pembuatan :
a.
Judul perjanjian
Dalam perjanjian harus diperhatikan
kecocokan isi dengan judul perjanjian serta acuan hukum yang mengikatnya. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari.
b.
Pembukaan
Biasanya berisi tanggal pembuatan
perjanjian.
c.
Pihak-pihak (para pihak) dalam
perjanjian
Para pihak dijelaskan identitasnya secara lengkap dengan menyebutkan
nama, pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, kewarganegaraan dan bertindak
atas nama siapa. Bagi perusahaan, disebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti
tempat tinggal seperti tercantum dalam akta pendirian.
d.
Latar belakang kesepakatan
Berisi penjelasan resmi tentang latar belakang terjadinya suatu
kesepakatan.
e.
Isi perjanjian
Bagian yang merupakan inti perjanjian, yang membuat apa yang
dikehendaki, hak dan kewajiban termasuk pilihan
penyelesaian sengketa. Pada bagian inti dari sebuah perjanjian diuraikan
secara rinci isi perjanjian yang biasanyadibuat dalam pasal-pasal,
ayat-ayat,huruf-hururf atau angka-angka tertentu.
f.
Penutup
Jika semua hal yang diperlukan telah tercantum di dalam bagian isi
perjanjian, barulah dirumuskan bagian penutup perjanjian. Penutup memuat tata
cara pengesahan suatu perjanjian.
-
Saling menukar konsep (draf)
perjanjian, Dengan cara ini, setiap pihak yang melakukan perjanjian dapat
mengkaji ulang atau membuat konsep akhir tersebut untuk diformalkan secara
hukum
-
Lakukan revisi (jika perlu)
Hal ini ditempuh karena jika ada masalah yang belum jelas, atau terjadi
perubahan situasi politik, atau adanya bencana/malapetaka.
-
Lakukan penyelesaian akhir.
-
Menandatangani perjanjian oleh
masing-masing pihak.
Jika perjanjian sudah ditandatangani, berarti penyusunan sudah selesai
dan tinggal pelaksanaannya di lapangan.
Untuk memahami isi perjanjian secara sempurna ada baiknya para pihak
mengetahui bagaimana konsep dasar atau struktur perjanjian berikut unsur-unsur
pokok yang harus ada yang disebut anatomi perjanjian.
Pada dasarnya susunan dan anatomi perjanjian dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian :
-
Bagian pendahuluan
Dapat dibagi lagi menjadi tiga sub bagian yaitu sub bagian pembuka, sub bagian
pencantuman identitas para pihak, dan subbagian penjelasan. Jadi bagaian
pendahuluan harus memuat secara lengkap semua hal seperti nama perjanjian, tanggal, hari, bulan, tahun
dan tempat perjanjian ditandatangani. Selanjutnya perjanjian harus memuat
identitas lengkap para pihak yang
mengikat diri dalam perjanjian dan siapa yang menandatangani perjanjian
tersebut. Dalam bagian penjelasan harus dicantumkan juga penjelasan mengapa
para pihak membuat perjanjian itu.
-
Bagian isi
Isi perjanjian memuat klausul yang merupakan intisasri perjanjian.
Khusus dalam perjanjian berskala besar (jumlah, rupiah, dan pihak-pihak yang
terlibat), dalam perjanjian dimuat definisi-definisi tentang maksud dan rumusan
yang terdapat dalam perjanjian yang merupakan kamus atau ketentuan umum.
Selanjutnya agar isi perjanjian lengkap dan baik, serta dapat menjadi
pedoman dalam suatu hubungan hukum diantara para pihak, suatu perjanjian harus
memenuhi factor-faktor sebagai berikut :
a.
Apa isi atau hal-hal yang
diatur di dalam perjanjian ?
Hal atau materi yang menjadi objek perikatan, yang diatur dalam
perjanjian, wajib dirumuskan dengan jelas menggunakan bahasan yang ugas dan
tidak mempunyai tafsiran ganda.
b.
Siapa saja yang membuat
perjanjian ?
Orang-orang yang tercakup dalam perjanjian adalah para pihak yang
terkait dengan perjanjian. Selain itu, harus dijelaskan juga dengan gambalng
dalam bahasa yang dimengerti para pihak motif atau latar belakang pembuatan
perjanjian, agar perjanjian itu dapat mengikat kuat dan tidak mungkin
dipungkiri para pihak yang bersepakat.
c.
Dimana perjanjian dibuat ?
Tempat atau lokasi pembuatan perjanjian harus dijelaskan untuk
menentukan ketentuan yang berlaku atas perikatan. Hal ini erat kaitannya dengan
kewajiban hukum, seperti perpajakan dan kewenangan pengadilan yang berhak
mengadili perkara apabila timbul perselisihan mengenai isi perjanjian.
d.
Kapan perjanjian mulai berlaku
?
Penentuan kapan suatu perjanjian mulai berlaku merupakan usnur penting
untuk menentukan awal berlakunya perjanjian dengan konsekuensi turunannya,
seperti penyerahan barang, konsekusni perpajakan, dan ketentuan hukum yang
berlaku. Dengan demikian dapat diketahui kapan hak dan kewajiban para pihak
diterima dan dipenuhi.
-
Bagian penutup
Suatu perjanjian biasanya memilki 2 hal yang dicantumkannya di dalam
penutup yaitu :
a.
Kata penutup biasanya
menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
yang memiliki kapasitas untuk itu. Selain itu para pihak juga menyatakan ulang
bahwa mereka akan terikat dengan isi perjanjian.
b.
Ruang penempatan tanda tangan
adalah tempat pihak-pihak menandatangani perjanjian disertai nama jelas orang
yang menandatangani dan jabatan dari orang yang bersangkutan. Kalimat penutup
lazimnya dibuat sebagai berikut :
“Demikian perjanjian ini dibuat oleh
para pihak dengan keadaan sadar tanpa tekanan dan pihak manapun , untuk
dilaksanakan dengan penuh itikad baik dari masing-masing pihak”.
Selain mencantumkan ketentuan dalam penutup kita juga perlu
memperhatikan ketentuan-ketentuan lain yaitu :
-
Saksi
Dalam praktik hukum, keberadaan saksi
merupakan unsur penting dan menentukan . suatu perjanjian dengan saksi yang
lengkap dan memenuhi persyaratan hukum menjadi landasan hukum dalam pembuktian
perjanjian itu. Kehadiran saksi yang ikut menyaksikan dan menandatangani/paraf
di setiap halaman perjanjian dapat mendukung fakta atas sah dan berlakunya
suatu perjanjian. Demi lengkapnya persyaratan hukum sari suatu perjanjian maka
ada baiknya mengajukan 2 orang atau lebih yang bertindak sebagai saksi. Hal ini
perlu dipenuhi untuk menghindari ketentuan hukum yang berbunyi. “satu saksi
bukan lagi saksi”.
-
Materai
Tidak semua perjanjian harus dibubuhi
materai. Materai berfungsi sebagai pajak atas dokumen seperti :
a.
Surat perjanjian dan
surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.
Akta-akta termasuk
salinanannya;
c.
Dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembutian di muka pengadilan.
Bea materai dalam
kaitannya dengan perjanjian adalah sebagai pajak atas dokumen. Dengan demikian
fungsi materai bukan sebagai pengesah perjanjian, melainkan sebagai pajak atas
dokumen yang akan diajukan sebagai barang bukti jika terdapat sengketa di
pengadilan. Pembubuhan materai bersifat wajib sesuai dengan ketentuan
undang-undang untuk memenuhi kewajiban perpajakan.
-
Tanda tangan atau cap jempol
Setelah perjanjian selesai dirancang dan masuk ke bentuk final, maka
para pihak membubuhkan tanda tangan atau cap jempol di kolom (ruang) tanda
tangan yang telah dipersipakan di bagian penutup suatu perjanjian. Jika salah
satu dari para pihak tidak melek huruf latin , bisa digantikan dengan cap
jempol yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan. Keabsahan
cap jempol dapat diteliti lewat tes forensic jika kelak terjadi persellisihan
tentang isi perjanjian di pengadilan.
-
Paraf di setiap halaman
perjanjian
Demi amannya isi perjanian maka perjanjian yang terdiri dari beberapa
halaman harus di beri tanda persetujuan berupa paraf di setiap halama oleh
pihak-pihak yang berwenang temasuk para saksi.
-
Lampiran sebagai kelengkapan
perjanjian
Ada kalanya perjanjian memerlukan lampiran yang tidak dapat dipisahkan
dari isi perjanjian induk. Lampiran tersebut harus disebut dalam teks isi
perjanian dan merupakan satu kesatuan. Lampiran tersebut dapat berupa gambar,
tabel harga, jadwal pembayaran dan lain-lain, tergantung pada kebutuhan
masing-masing pihak sesuai sifat perjanjian tersebut.
-
Catatan tepi pada akta
Seperti akta yang dibuat notaries, catatan perubahan, perbaikan naskah
perjanjian berupa coretan dan perbaikannya dibuat de tepi akta yang selanjutnya
diparaf oleh para pihak-pihak sebagai tanda setuju atas perbaikan itu, juga
paraf dari para saksi.
3.
Tahap passa penandatanganan
perjanjian[5]
Beberapa tahap pasca
penandatangan perjanjian sebagai berikut :
a.
Pelaksanaan dan penafisiran
perjanjian
Ketika perjanjian telah selesai ditandatangani oleh para pihak, bukan
berarti segala ini perjanjian dapat berlaku secara mulus. Hal ini terutama jika
menyangkut perjanjian berskala besar yang dalam pelaksanaan perjaniannya
terdapat atau dijumpai rumusan isi perjanjian yang kurang teliti, terjadi
perubahan politik atau kejadian lainnya yang erat dengan isi perjanjian
dimaksud. Biasanya hal itu terjadi dalam hal pemenuhan kewajiban yang tidak dapat
ditepati tepat waktu atau tepat jumlah karena alasan yang masuk akal. Bisa juga
terjadi karena ada penafsiran yang berebda terhadap rumusan isi perjanjian oleh
para pihak karena perjanjian yang telah disusun dan ditandatangani ada hal yang
tidak jelas atau tidak lengkap sehingga memerlukan penafsiran.
Untuk mengatasi masalah pelaksanaan perjanjian, dapat ditempuh dengan
cara memberitahukan kepada pihak yang dirugikan secara tertulis atau lisan agar
isi perjanjian ditafsir ulang dan penafsiran tersbut mengikat kedua belah pihak
yang biasanya dirumuskan dalam “Tambahan Perjanjian” atau Addendum yang
dirumuskan secara musyawarah dan merupakan bagain yang mengikat dan saling
melengkapi dengan perjanjian induk. Pelaksanaan suatu perjanjian dapat jua terganggu
apabila dalam massa pelaksanaannya terjadi hal-hal yang digolongkan keadaan
memaksa (forje majeure).
Ketentuan keadaan memaksaa diatur dalam Pasal 1244 sampai dengan 1245
KUHPerdata. Dalam pasal 1244 KUHPerdata disebutkan, “Jika ada alasan untuk itu,
debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat
membutukan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya
perikatan itu, disebabkan karena suatu hal tak terduga pun tak dapat
dipertanggung jawabkan padanya kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah
ada pada pihaknya”. Selanjutnya dalam pasal 1254 KUHPerdata “Tidak ada
pengganti biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena
hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang
terlarang”.
Keadaan memaksa ini sebenarnya merupakan klausul dalam perjanjian yang
terkadang tidak dirumuskan dalam isi perjanjian. Alasan keadaan memaksa tidak
terjadi begitu saja, tetapi memerlukan pembuktian secara hukum, kecuali untuk
hal-hal factual yang tidak dapat dipungkiri.
b.
Penyelesaian sengketa di bidang
perjanjian
Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para
pihakharus dapat dilaksanakan dengan isi perjanjian dengan itikad baik. Namun
dalam praktik kita jumpai fakta para pihak baik debitur maupun kreditur banyak
yang tidak memenuhi isi perjanjian dengan berbahai alasan seperti melarikan
diri atau upaya tidak terpuji lainnya. Namun ada juga salah satu pihak yang
tidak mempunyai itikad baik dan melakukan ingkar janji. Melihat gejala ini
seharusnya sejak awal peraturan perundang-undnagan telah mengantisipasi keadaan
yang selalu mungkin terjadi di antara parappihak yang biasanya tidak dapat atau
tidak mau memenuhi kewajibannya. Pada praktiknya penyelesaian perselsiihan
dalam hal tidak memenuhi isi perjanjian adalah lewat :
-
Musyawarah
Terdapat banyak cara yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam
penyeleaian permasalahan perjanjian. Namun cara yang paling sering dianjurkan
adalah lewat musyawarah. Melalui musyawarah para pihak dapat bertatap muka dan
menyelesaikan masalah secara langsung tanpa intervensi pihak luar. Dengan
pikiran positif bahwa dari awal dan selama proses pembuatan perjanjian
dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan maka cukup terhormat apabila para
pihak perjanjian menyelesaikan sengketa secara kekeluaraan. Hal ini didasari
atas pertimbangan biaya yang murah dan proses yang cepat, tanpa menimbulkan
permusuhan di antara para pihak.
-
Litigasi (melalui pengadilan)
Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa melaui jalur hukum lewat
pengadilan. Salah satu pihak mengajukan gugatan ke lembaga pengadilan atau
perselisihan atau sengketa yang dialami salah satu pihak yang terikat
perjanjian. Namun para pihak yang menghendaki litigasi dalam penyelesaian
perselisihan tentang pelaksanaan isi suatu perjanjian harus sudah menyadari
untung rugi proses legitasi.
Adapun keuntungan penyelesaian
perselisihan lewat ligitasi sebagai berikut :
-
Ligitasi sangat baik untuk
menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi pihak lawan.
-
Ligitasi memberi standar bagi
prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk
didenar keterangannya sebelum mengambil keputusan.
-
Ligitasi membawa nilai-nilai
masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi.
-
Legitasi merupakan alternative
terbaik untuk mencari kepastian hukum lewat proses pengadilan dan keputusan
hakim.
-
Dengan litigasi, keputusan
tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dar iitu, menjamin suatu
bentuk ketertiban umum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Adapun kekurangan atau kerugian penyelesaian sengketa isi perjanjian
lewat ligitasi sebagai berikut :
-
Memaksa para pihak pada posisi
menang atau kalah.
-
Menyita waktu berkepanjangan.
-
Menggangu ketenangan kerja para
pihak yang berselsih.
-
Memerlukan biaya yang cukup
mahal.
-
Tidak mengupayakan
perbaikan atau pemulihan hubungan baik
para pihak yang bersengketa.
-
Alternative penyelesaian
sengketa
Alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan jalan
tengah yang ditempuh para pihak yang bersengketa, secara sukarela melalui
prosedur yang disepakati. Adapun alternatifnya :
1.
Konsultasi
2.
Negoisasi
3.
Mediasi
4.
Konsiliasi
5.
Penilaian ahli
Penyelesaian sengketa melalui cara ini dapat
diselesaikan didasari pada itikad baik. Proses terlaksananya ditempuh dengan
batasan waktu relative singkat biasanya pertemuan langsung para pihak paling
lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Jika upaya ini tidak
tercapai atas kesepakatan sengketa diselesaikan melalui bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli atau mediator. Apabila buntu dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa dengan
menunjuk seorang mediator baru dan harus mencapai kesepakatan paling lama 30 hari
dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak dan didaftarakan
di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan
kesepakatan dan keputusan ini wajib dilaksanakan sampai selesai dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak pendafatarn di Pengadilan negeri.[6]
Dasar hukum
berakhirnya perjanjian didasari Pasal 1381 KUHPerdata, “Perikatan-perikatan
dapat hapus :
-
Karena pembayaran;
-
Karena penawaran pembayaran
tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
-
Karena pembaruan utang;
-
Karena perjumpaan utang atau
kompensasi;
-
Karena percampuran utang;
-
Karena pembebasan utangnya;
-
Karena musnhanya barang yang
terutang;
-
Karena kebatalan atau
pembatalan;
-
Karena berlakunya suatu syarat
batal;
-
Karena lewatnya waktu.
Perjanjian yang berakhir karena
undang-undang adalah :
-
Konsinyasi;
-
Musnahnya barang terutang;
-
Daluwarsa
Adapun perjanjin yang berakhir karena
perjanjian adalah :
-
Pembayaran;
-
Novasi (pembaruan utang);
-
Kompensasi;
-
Percampuran utang;
-
Kebatalan atau pembatalan;
-
Berlakunya syarat batal.
Dalam praktik ditemukan juga fakta cara
berakhirnya perjanjian yang disebabkan oleh :
-
Jangka waktunya berakhir;
-
Dilaksanakannya objek
perjanjian;
-
Kesepakatan kedua belah pihak;
-
Pemutusan perjanjian secara
sepihak oleh salah satu pihak;
-
Adanya keputusan pengadilan.
Secara umum,
perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas :
1.
Perjanjian lisan.
Yaitu perjanjian yang kesepakatan/kalusul yang diperjanjikan disepakati
secara lisan. Perjanjian lisn seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi
masalah adalah jika ada sengketa yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka
para pihak akan kesulitan melakukan pembuktian.
2.
Perjanjian tertulis.
Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan kata
dibawah tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.
Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang
dibuat oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana
jika tidak disertai dengan materai ? Apakah perjanjian itu sah, yang menjadi masalah
adalah bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti
karena hakim akan menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini
dikarenakan UU Bea Materai kita mengatur tentang itu.
Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi
salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
Perjanjian dengan akta otentik adalah
perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa
pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik ? Terdapat 2 pejabat yang
berwenng yaitu notaries (untuk objek selain tanah) dan pejabat pembuat akta
tanah/PPAT (untuk objek tanah). Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik
ini adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi
perjanjian.
PENUTUP
Sangat jelas bahwa perjanjian lisan merupakan kesepakatan tidak
tertulis antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para pihak yang membuatnya. Perjanjian lisan hanya membutuhkan kata sepakat
antara para pihak dalam perjanjian, dalam asas kebebasan berkontrak kata
sepakat dalam perjanjian lisan sering kali menjadi masalah seperti ada pihak
dengan bargainin position yang lemah dipaksa atau diintimidasi oleh pihak
lainnya dengan bargaining position yang lebih kuat untuk mencapai kata sepakat
dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian lisan.
Pada umumnya perjanjian
dibuat tertulis antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian namun ada pula
perjanjian dibuat secara lisan dimana subjek dan objek perjanjian hanya dapat diyakini oleh para
pihak yang membuat perjanjian perikatan. Dalam perjanjian yang dibuat secara
lisan tidak diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti
pengaturan perjanjian pada umumnya yang terdapat dalam KUHPerdata.
Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan
ditindaklanjuti dan belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuataan
mengikat bagi para pihak yang membuat sehinga tidak mempunyai akibat hukum.
Perjanjian secara lisan sebaiknya tidak
dipergunakan karena dalam hal pembuktiannya sulit karena beban pembuktian dalam
hukum perdata dibebankan pada kebenaran formil. Dan sangat jelas bahwa
perjanjian secara lisan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan menjadi
sulit ketika timbul sengketa atau
ketidaksesuaian pendapat.
Sebagian masyarakat
kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya perjanjian yang
dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Perjanjian lisan ini dari
segi pembuktian sulit untuk dibuktikan oleh sebab itu sebaiknya perjanjian
dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.
DAFTAR PUSTKA
Ahmad Fanani, Panduan
Menulis Surat Kontrak, A Plus Books, Yogyakarta 2010
Ahmadi Miru dkk, Hukum
Perikatan, Rajawali Pres, 2008
BN. Marbun, Membuat
Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum, Puspa Swara Jakarta 2009
C.S.T Kansil, Hukum
Perdata, Pradnya Paramita Jakarta 2006
Djaja S.Meliala,
Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda, Nuansa Aulia 2008
Gunawan Widjaja, Perikatan
Yang lahir dari Undang-Undang, Raja Grafindo 2003
Kartini Muljadi, Perikatan
Pada Umumnya, Rajawali Pres 2004
Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika 2003
Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, PT Intermesa, 1982
Titik Triwulan Tutik,
Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka 2006
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIzin mengutip ya? 🙏 terima kasih...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus