Rabu, 17 Juni 2015

KEPASTIAN HUKUM PERJANJIAN LISAN




KEPASTIAN HUKUM PERJANJIAN LISAN
TITIN TRIANA SH MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
ABSTRAK
     Semua aspek dalam kehidupan kita erat kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang berbentuk lisan maupun tertulis. Saat ini warga masyarakat wajib mengetahui terutama dalam membuat perjanjian, kesepakatan, agar perjanjian yang dibuat bisa aman dan sesuai hukum yang berlaku sehingga tidak terperosok ke dalam perangkap hukum yang dapat merugikan diri sendiri, pihak-pihak yang terkait dalam perjajian serta pihak ketiga.
     Hukum perjanjian termasuk bidang yang rumit dan dalam penerapannya perlu kehati-hatian yang mendalam. Hal ini erat kaitannya dengan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”  Dalam praktik selama ini kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan undang-undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.
Keywords : Perjanjian,Perikatan,Kontrak,Persetujuan

PENDAHULUAN    
     Tidak dapat dipungkiri bahwa semua aspek dalam kehidupan kita erat kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang berbentuk lisan maupun tertulis.
     Saat ini warga masyarakat wajib mengetahui terutama dalam membuat perjanjian, kesepakatan, agar perjanjian yang dibuat bisa aman dan sesuai hukum yang berlaku sehingga tidak terperosok ke dalam perangkap hukum yang dapat merugikan diri sendiri, pihak-pihak yang terkait dalam perjajian serta pihak ketiga.
     Hukum perjanjian termasuk bidang yang rumit dan dalam penerapannya perlu kehati-hatian yang mendalam. Hal ini erat kaitannya dengan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
     Dalam praktik selama ini kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan undang-undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.
     Dalam literature hukum Indonesia, perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang dikaitkan dengan sumber hukum yan diikutinya. Namun semuanya kembali ke sumber awal hukum perikatan yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
     Dari rumusan perjanjian yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keseluruhan isi rumusan-rumusan tersebut saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yan terdapat dalam KUHPerdata seperti berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkna dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” (Pasal 1313).
     Pasal 1313 KUHPerdata menerangkan secara sederhana pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling menikatkan diri.
     Rumusan hukum perjanjian terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka KUHPerdata seperti tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunya, “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
     Ketentuan Pasal 1338 alinea (1) KUHPerdata merupakan pasal yang paling popular karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga yang menyandarkanya pada Pasal 1320 KUHPerdata.
     Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam KUHPerdata. Di alah satu pasal yaitu Pasal 1320 berbunyi sebagai beriikut :
     “ Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat :
1.       Sepakat mereka mengikatkan dirinya.
     Kesepakatan memiliki makna bahwa ada persetujuan secara bebas antar para pihak tentang ketentuan yang diperjanjikan. Dianggap tidak ada kesepakatan jika terdapat penipuan (rangkaian kebohongan yang dilakukan oleh salah satu pihak sampai pihak yang lain tergerak hatinya untuk sepakat) dan kekhilafan (salah satu pihak khilaf atau salah mengidentifikasi kalusul yang dibuat.
2.       Kecakapan membuat suatu perikatan.
     Para pihak yang membuat perjanjian dianggap hukum adalah subjek yang cakap. Yaitu subjek yang mampu mengemban hak dan kewajiban. Cakap secara hukum adalah orang yang telah dewasa (telah berusia 17 tahun atau kurang dari itu tetapi sudah atau pernah menikah), orang yang sehat akalnya dan orang atau badan yang tidak sedang status pailit yang diputuskan oleh pengadilan.
     Kedua syarat ini disebut dengan syarat subjektif. Jika tidak terpenuhi syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Bagaimana caranya ? Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agar hakim membatalkan perjanjian. Dalam hukum terdapat asas yang mengatakan bahwa siapa yang mendalilkan/mengatakan sesuatu maka ia harus membuktikan.
3.       Suatu hal tertentu.
     Yang menjadi objek perjanjian haruslah jelas dan dapat ditentukan serta patut. Objek perjanjian haruslah objek yang tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Tidak boleh meskipun telah terpenuhi adanya kesepakatan dan kecakapan jika objek yang diperjanjikan adalah barang yang dilarang oleh undang-undang untuk diperdagangkan.
4.       Suatu sebab yang halal.
    Kausa yang halal bukanlah motif atau alasan membuat perjanjian tetapi isi perjanjian, sebab motif  atau alasan yang mendorong seseoran membuat perjanjian tidaklah dipersoalkan oleh hukum. Dalam perjanjian berlaku system terbuka yang berarti semua orang bebas membuat perjanjian apapun motifnya asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan.
    Kedua syarat ini disebut dengan syarat objektif. Jika tidak terpenuhi syarat ini (salah satu atau kedua-duanya) maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya/otomatis. Hukum menggangap bahwa tidak pernah ada perjanjian, sehingga tidak perlu proses gugatan seperti halnya tidak terpenuhi syarat subjektif.
     Konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata diatas ? Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku yaitu “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.[1]
                   Guna memberi landasan bagi pelaksanaan pembuatan suatu perjanjian, maka ada beberapa asas/perinsip di bidang hukum perjanjian. Asas/perinisp itu merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu :
1.       Asas Kebebasan berkontrak (Sistem terbuka)
       Artinya para pihak dalam perjajian bebas mengemukakan kehednak, mengatur hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.
2.       Asas Konsensualitas (Kesepakatan)
    Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak tercapainya kata sepakat meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang disebut akte.

3.       Asas Kekuatan Mengikat
     Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati ( Pasal 1338 ayat (1). Perjanjian tersebut hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat 2).[2]

     Namun perlu dipertimbangkan bahwa sebagain masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya perjnjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang  ditaati. Disamping itu dari segi pembuktian perjanjian lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.

          PEMBAHASAN
     Untuk dapat memahami dan menerapkan suatu perjanjian, kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang garis-garis besar hukum perjanjian. Pada dasarnya, garis-garis besar itu tidak mudah, tetapi dapat dipelajari sehingga pihak-pihak yang berakad memiliki kepercayaan diri dalam penerapan perjanjian.
     Berbagai buku atau ketentuan undang-undang menggunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan. sebagai pembanding dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menjumpai rumusan sebagai berikut :
1.       Perjanjian;
-          Persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu;
-          Syarat;
-          Tenggang waktu;tempo;
-          Persetujuan resmi antara dua negara atau lebih di bidang keamanan, perdagangan dan sebagainya;
-          Persetujuan antara dua orang atau lebih dalam bentuk tertulis yang dibubuhi materai, yang meliputi hak dan kewajiban timbal balik. Masing-masing pihak menerima tembusan perjanjian itu sebagai tanda bukti keikutsertaanya dalam perjanjian itu.
2.       Kontrak;
-          Perjanjian (tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya;
-          Persetujuan yang beranksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.
3.       Perikatan ;
-          Pertalian; perhubungan
-          Perserikatan; persekutuan.[3]
     Dalam literature hukum Indonesia, perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang dikaitkannya dengan sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal hukum perikatan yan terdapat dalam Buku III KUHPerdata.
          Dalam bidang hukum perdata, hukum perjanjian/perikatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang  harta kekayaan yang dilakukan sehari-hari.
       Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW yang secara garis besar di bagi atas dua bagian :
1.       Perikatan pada umumnya baik yang lahir dari perjanian maupun yang lahir dari undang-undang ;
2.       Perikatan yang lahir dari perjanjian – perjanjian tertentu.[4]
     Ketentuan tentang perikatan pada umumna ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dan lain-lain. Bahkan ketentuan tentang perikatan pada umumnya, ini berlaku pula sebagai ketentuan dasar atas semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis perjanjiannya tidak diatur dalam BW sehingga perjanjian apa pun yang dibuat acuannya adalah pada ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 smpai Pasal 1456 BW.
     Dari rumusan perjanjian yang terdapat dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, keseluruhn isi rumusan-rumusan tersebut saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yang terdapat dalam KUHPerdata seperti berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” (Pasal 1313).
     Pasal 1313 KUHPerdata menerangkan secara sederhana pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Rumusan hukum perjanjian terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka KUHPerdata seperti tercantum dalam  Pasal 1338 KUHPerdat yang berbunya, “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengn kesepakatan kedua belah pihak atau alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
     Ketentuan Pasal 1338 alinea (1) KUHPerdata merupakan pasal yang paling popular karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga yang menyandarkannya pada pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam KUHPerdata. Di salah satu pasal yaitu, Pasal 1320 berbunyi sebagai berikut :
1.       Sepakat
     Arti sepakat adalah kesesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawran dan permintaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis (bukan lisan) karena perjanjian dapat saja dibuat dengan cara tidak tertuli dan juga tidak lisan.

2.       Cakap
     Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ditandai jika para pelaku perjanjian telah berumur 21 tahun atau telah menikah, walalupun usianya belum mencapai 21 tahun. Khusus untuk orang yang telah menikah sebelum usia 21 tahun tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Dengan demikian janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usiannya belum mencapai 21 tahun.
     Meskipun ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, seseorang tidak otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum. Karena ada kemungkinan dianggap tidak cakap karena berada di bawah pengampuan (curatele) misalnya karena gila atau bahkan karena boros.

3.       Hal tertentu
     Menerangkan tentang keharusan objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa adanya objek tertentu.

4.       Sebab yang halal
     Kata halal bukan bemaksud untuk memperlawankan kata haram dalam hukum Islam, tetapi bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.

     Rumusan pasal 1320 KUHPerdata ini dianggap mendasar karena menerangkan syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut mencakup pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.
     Di dalam KUHPerdata, hal yang mengatur perjanjian jual-beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, biaya tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang dan perdamaian merupakan perjanjian yang bersifat khusus.
     Perjanjian ini pada berbagai kepustakaan hukum disebut dengan perjanjian nominaat (bernama). Di luar KUHPerdata, dikenal juga perjanjian lainnya seperti kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise. Perjanjian jenis ini diatur dengan undang-undang yang tersendiri dan biasanya disebut perjanijian innominaat yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam era globalisasi saat ini.
     Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah :
1.       Asas kebebasan mengadakan perjanjian
     Kebebasan mengadakan perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
    Pasal 133 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
    Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :
a.       Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d.      Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis;
e.      Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat rasional.
    Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.

2.       Asas konsensualisme
     Dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3.       Asas pacta sunt servanda
     Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas pacta sunt servanda menyatakan hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

4.       Asas itikad baik
   Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik’. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak kresitur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.

5.       Asas kepribadian
    Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri “. Pasal 1315 ini berkaitan dengan rumusan Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku diantara pihak-pihak yang membuatnya”.

     Kedua pasal ini (pasal 1315 dan 1340) menerangkan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya sehingga tidakk boleh seseorang melakukan perjanjian yang membebani pihak ketiga. Memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan yang diatur dalam Pasa 1317 KUHPerdata, “Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.
     Rumusan Pasal 1317 KUHPerdata ini merupakan pengecualian dari Pasal 1315 KUHPerdata yaitu membolehkan seseoran berjanji, yang dalam perjanjian tersebut memberikan hak kepada pihak ketiga. Apabila pihak ketiga sudah menyatakan akan mengunakan hak tersebut maka pihak yang memberikan hak kepada pihak-pihak ketiga tadi tidak boleh menariknya kembali.
     Didalam setiap perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili dan kewarganegaraan. Kewarganegaraan erat kaitannya dengan ketentuan hukum apakah orang dapat melakukan tindakan hukum tertentu, seperti jual beli tanah milik, yang mana orang asing tidak data memiliki tanah hak milik di Indonesia.
     Selain lima asas diatas, masih ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari perinsip dasar tersebut adalah :
-          Asas kepercayaan
-          Asas persamaan hukum
-          Asas keseimbangan
-          Asas kepastian hukum
-          Asas moral
-          Asas kepatutan
-          Asas kebiasaan
-          Asas perlindungan
          KUHPerdata tidak menyebutkan secara eksplisit kapan suatu perjanjian mulai berlaku dan baaimana tahap-tahap terjadinya perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata hanya menyatakan perjanjian eksis berdasarkan consensus para pihak dan tidak memberi penjelasan rinci kapan suatu perjanjian mulai eksis setelah melalui tahapan-tahapan pembentukannya. Lahirnya suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukumn perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian.
     Untuk menyusun suatu perjanjian yang baik dan fungsional, diperlukan persiapan atau perencanaan yang sungguh-sungguh, matan dan melalui diskusi atau pembicaraan awal yang mengikat. Para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus menyiapkan waktu khusus yang dianggap cukup untuk membicarakan maksud dantujuan pengadaan perjanjian dengan bahasa/terminology yang dipahami para pihak.
     Tahapan penyusunan perjanjian biasanya dilakukan dalam tiga tahap :
1.       Pra penyusunan perjanjian
     Sebelum suatu perjanjian disusun, para pihak memperhatikan hal-hal yang menyangkut catatan awal, resume pembicaraan awal, dan pokok-pokok yang telah dijajaki terdapat titik temu dalam negoisasi (perlindungan) pembuatan perjanjian awal.
     Menginat pra-penyusunan perjanjian merupakan landasan perjanjian final maka setiap kesepakatan ada baiknya dituankan dalam nota kesepahaman atau lazim disebut Memorandum of Understanding (MoU).
     Taha-tahap pra-penyusunan perjanjian sebagai berikut :
a.       Negoisasi
     Merupakan sarana  bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancan demi mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan pandangan atau tafsir terhadap suatu hal yang berkaitan dengan kerangka perjanjian. Biasanya saat negoisasi inilah masing-masing pihak melemparkan penawarannya terhadap yang lain sehingga tercapai kesepakatan. Dalam praktik proses negoisasi ini ada kalanya singkat dan lansung masuk ke intisasri yang diperjuangkan (contoh, perjanjian sewa motor di antara teman sekantor), tetapi ada kalanya alot, baik karena belum bertemu keinginan soal harga, soal kondisi objek perjanjian, soal pembayaran, dan soal resiko barang atau asuransi.
Demi suksesnya proses negoisasi maka para pihak perlu memiliki persiapan yang matang menyangkut hal-hal berikut :
-          Menguasai kansep atau rancangan perjanjian atau untuk subjek yang akan diperjanjikan;
-          Menguasai peraturan perundang-undngan yang melingkupi apa yang diperjanjikan;
-          Mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah;
-          Percaya diri dan tidak mudah menyerah.
b.      Pembuatan Nota Kesepahaman (MoU)
     Sebelum menyusun nota kesepakatan, para pihak perlu melakkan identifikasi diri apakah sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan, seperti cakap hukum, umur, tentang objek, tempat domisili yang jelas dari masing-masing pihak. Biasanya masalah ini tidakk ditelusuri secara teliti, terutama diantara mereka yang awalnya saling mengenal. Posisi hukum dari objek perjanjian harus jelas identitasnya, temat berada, kondisi fisik dan kedudukan hukumnya (misalnya apakah barang tersebut terikat gadai atau tidak).
      Setelah negoisasi selesai dilakukan , tahapan pra-perjanjian selanjutnya adalah membuat Nota Kesepakatan (MoU) yang merupakan pencatatan atau penyusunan pokok-pokok persetujuan hasil negoisasi awal dalam bentuk tertulis. Walaupun belum merupakan suatu perjanjian, nota kesepkatan mempunyai peran sebagai pegangan untuk melakukan negoisasi lanjutan atau sebagai dasar pembuatan perjanjian.
     Perlu diperhatikan bahwa yang terpenting dalam pembuatan nota kesepakatan adalah mencantumkan poin-poin penting atau kata kunci dalam pembicaraan negoisasi yang sedang dilakukan. Penulis nota kesepakatan (MoU) sebaiknya ikut terlibat dalam negoisasi atau mendapat dokumen tertulis atau rincian yang lengkap dari hasil negoisasi.
     Mou sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional Indonesia, tetapi sering dilakukan, terutama pada perjanjian proyek-proyek besar. Dari segi hukum nota kesepakatan diangap sebagai perjanjian yang setengah jadi atau simple, tidak disusun secara formal dan dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan atau merupakan perjanjian pendahuluan yang kurang jelas sanksi hukumnya.

2.       Tahap penyususnan perjanjian
     Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan suatu perjanjian adalah tahap penyusunan kontrak. Dalam tahap ini disusunlah kesepakatan yang dicapai dalam negoisasi dan yang dituangkan dalam nota kesepakatan (MoU) serta perundingan lanjutan hinga dicapainya kesepakatan untuk bergerak kea rah pembuatan bentuk formal dan kesepakatan itu menjadi suatu perjanjian.
     Menyusun suatu perjanjian memerlukan ketelitian dan kejelian dari para pihak maupun para notaries atau pejabat lainnya. Karena apabila keliru merumuskan nama dan data pokok, perjanjian itu mungkin menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya di kemudian hari. Pada umumnya, dikenal lima fase dalam penyusunan perjanjian di Indonesian sebagai berikut :
-          Membuat konsep (draft) pertama prosesnya meliputi pembuatan :
a.       Judul perjanjian
Dalam perjanjian harus diperhatikan kecocokan isi dengan judul perjanjian serta acuan hukum yang mengikatnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari.
b.      Pembukaan
Biasanya berisi tanggal pembuatan perjanjian.
c.       Pihak-pihak (para pihak) dalam perjanjian
    Para pihak dijelaskan identitasnya secara lengkap dengan menyebutkan nama, pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, kewarganegaraan dan bertindak atas nama siapa. Bagi perusahaan, disebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal seperti tercantum dalam akta pendirian.
d.      Latar belakang kesepakatan
    Berisi penjelasan resmi tentang latar belakang terjadinya suatu kesepakatan.
e.      Isi perjanjian
    Bagian yang merupakan inti perjanjian, yang membuat apa yang dikehendaki, hak dan kewajiban termasuk pilihan  penyelesaian sengketa. Pada bagian inti dari sebuah perjanjian diuraikan secara rinci isi perjanjian yang biasanyadibuat dalam pasal-pasal, ayat-ayat,huruf-hururf atau angka-angka tertentu.
f.        Penutup
    Jika semua hal yang diperlukan telah tercantum di dalam bagian isi perjanjian, barulah dirumuskan bagian penutup perjanjian. Penutup memuat tata cara pengesahan suatu perjanjian.

-          Saling menukar konsep (draf) perjanjian, Dengan cara ini, setiap pihak yang melakukan perjanjian dapat mengkaji ulang atau membuat konsep akhir tersebut untuk diformalkan secara hukum

-          Lakukan revisi (jika perlu)
     Hal ini ditempuh karena jika ada masalah yang belum jelas, atau terjadi perubahan situasi politik, atau adanya bencana/malapetaka.

-          Lakukan penyelesaian akhir.
-          Menandatangani perjanjian oleh masing-masing pihak.
    
     Jika perjanjian sudah ditandatangani, berarti penyusunan sudah selesai dan tinggal pelaksanaannya di lapangan.
     Untuk memahami isi perjanjian secara sempurna ada baiknya para pihak mengetahui bagaimana konsep dasar atau struktur perjanjian berikut unsur-unsur pokok yang harus ada yang disebut anatomi perjanjian.
     Pada dasarnya susunan dan anatomi perjanjian dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian :
-          Bagian pendahuluan
     Dapat dibagi lagi menjadi tiga sub bagian yaitu sub bagian pembuka, sub bagian pencantuman identitas para pihak, dan subbagian penjelasan. Jadi bagaian pendahuluan harus memuat secara lengkap semua hal seperti  nama perjanjian, tanggal, hari, bulan, tahun dan tempat perjanjian ditandatangani. Selanjutnya perjanjian harus memuat identitas lengkap  para pihak yang mengikat diri dalam perjanjian dan siapa yang menandatangani perjanjian tersebut. Dalam bagian penjelasan harus dicantumkan juga penjelasan mengapa para pihak membuat perjanjian itu.
-          Bagian isi
     Isi perjanjian memuat klausul yang merupakan intisasri perjanjian. Khusus dalam perjanjian berskala besar (jumlah, rupiah, dan pihak-pihak yang terlibat), dalam perjanjian dimuat definisi-definisi tentang maksud dan rumusan yang terdapat dalam perjanjian yang merupakan kamus atau ketentuan umum.
     Selanjutnya agar isi perjanjian lengkap dan baik, serta dapat menjadi pedoman dalam suatu hubungan hukum diantara para pihak, suatu perjanjian harus memenuhi factor-faktor sebagai berikut :
a.       Apa isi atau hal-hal yang diatur di dalam perjanjian ?
     Hal atau materi yang menjadi objek perikatan, yang diatur dalam perjanjian, wajib dirumuskan dengan jelas menggunakan bahasan yang ugas dan tidak mempunyai tafsiran ganda.
b.      Siapa saja yang membuat perjanjian ?
     Orang-orang yang tercakup dalam perjanjian adalah para pihak yang terkait dengan perjanjian. Selain itu, harus dijelaskan juga dengan gambalng dalam bahasa yang dimengerti para pihak motif atau latar belakang pembuatan perjanjian, agar perjanjian itu dapat mengikat kuat dan tidak mungkin dipungkiri para pihak yang bersepakat.
c.       Dimana perjanjian dibuat ?
     Tempat atau lokasi pembuatan perjanjian harus dijelaskan untuk menentukan ketentuan yang berlaku atas perikatan. Hal ini erat kaitannya dengan kewajiban hukum, seperti perpajakan dan kewenangan pengadilan yang berhak mengadili perkara apabila timbul perselisihan mengenai isi perjanjian.
d.      Kapan perjanjian mulai berlaku ?
     Penentuan kapan suatu perjanjian mulai berlaku merupakan usnur penting untuk menentukan awal berlakunya perjanjian dengan konsekuensi turunannya, seperti penyerahan barang, konsekusni perpajakan, dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian dapat diketahui kapan hak dan kewajiban para pihak diterima dan dipenuhi.
-          Bagian penutup
     Suatu perjanjian biasanya memilki 2 hal yang dicantumkannya di dalam penutup yaitu :
a.       Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Selain itu para pihak juga menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi perjanjian.
b.      Ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani perjanjian disertai nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari orang yang bersangkutan. Kalimat penutup lazimnya dibuat sebagai berikut :
“Demikian perjanjian ini dibuat oleh para pihak dengan keadaan sadar tanpa tekanan dan pihak manapun , untuk dilaksanakan dengan penuh itikad baik dari masing-masing pihak”.
     Selain mencantumkan ketentuan dalam penutup kita juga perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan lain yaitu :
-          Saksi
Dalam praktik hukum, keberadaan saksi merupakan unsur penting dan menentukan . suatu perjanjian dengan saksi yang lengkap dan memenuhi persyaratan hukum menjadi landasan hukum dalam pembuktian perjanjian itu. Kehadiran saksi yang ikut menyaksikan dan menandatangani/paraf di setiap halaman perjanjian dapat mendukung fakta atas sah dan berlakunya suatu perjanjian. Demi lengkapnya persyaratan hukum sari suatu perjanjian maka ada baiknya mengajukan 2 orang atau lebih yang bertindak sebagai saksi. Hal ini perlu dipenuhi untuk menghindari ketentuan hukum yang berbunyi. “satu saksi bukan lagi saksi”.
-          Materai
Tidak semua perjanjian harus dibubuhi materai. Materai berfungsi sebagai pajak atas dokumen seperti :
a.       Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.      Akta-akta termasuk salinanannya;
c.       Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembutian di muka pengadilan.
    Bea materai dalam kaitannya dengan perjanjian adalah sebagai pajak atas dokumen. Dengan demikian fungsi materai bukan sebagai pengesah perjanjian, melainkan sebagai pajak atas dokumen yang akan diajukan sebagai barang bukti jika terdapat sengketa di pengadilan. Pembubuhan materai bersifat wajib sesuai dengan ketentuan undang-undang untuk memenuhi kewajiban perpajakan.
-          Tanda tangan atau cap jempol
     Setelah perjanjian selesai dirancang dan masuk ke bentuk final, maka para pihak membubuhkan tanda tangan atau cap jempol di kolom (ruang) tanda tangan yang telah dipersipakan di bagian penutup suatu perjanjian. Jika salah satu dari para pihak tidak melek huruf latin , bisa digantikan dengan cap jempol yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan. Keabsahan cap jempol dapat diteliti lewat tes forensic jika kelak terjadi persellisihan tentang isi perjanjian di pengadilan.
-          Paraf di setiap halaman perjanjian
     Demi amannya isi perjanian maka perjanjian yang terdiri dari beberapa halaman harus di beri tanda persetujuan berupa paraf di setiap halama oleh pihak-pihak yang berwenang temasuk para saksi.
-          Lampiran sebagai kelengkapan perjanjian
     Ada kalanya perjanjian memerlukan lampiran yang tidak dapat dipisahkan dari isi perjanjian induk. Lampiran tersebut harus disebut dalam teks isi perjanian dan merupakan satu kesatuan. Lampiran tersebut dapat berupa gambar, tabel harga, jadwal pembayaran dan lain-lain, tergantung pada kebutuhan masing-masing pihak sesuai sifat perjanjian tersebut.
-          Catatan tepi pada akta
     Seperti akta yang dibuat notaries, catatan perubahan, perbaikan naskah perjanjian berupa coretan dan perbaikannya dibuat de tepi akta yang selanjutnya diparaf oleh para pihak-pihak sebagai tanda setuju atas perbaikan itu, juga paraf dari para saksi.      
3.       Tahap passa penandatanganan perjanjian[5]
     Beberapa tahap pasca penandatangan perjanjian sebagai berikut :
a.       Pelaksanaan dan penafisiran perjanjian
     Ketika perjanjian telah selesai ditandatangani oleh para pihak, bukan berarti segala ini perjanjian dapat berlaku secara mulus. Hal ini terutama jika menyangkut perjanjian berskala besar yang dalam pelaksanaan perjaniannya terdapat atau dijumpai rumusan isi perjanjian yang kurang teliti, terjadi perubahan politik atau kejadian lainnya yang erat dengan isi perjanjian dimaksud. Biasanya hal itu terjadi dalam hal pemenuhan kewajiban yang tidak dapat ditepati tepat waktu atau tepat jumlah karena alasan yang masuk akal. Bisa juga terjadi karena ada penafsiran yang berebda terhadap rumusan isi perjanjian oleh para pihak karena perjanjian yang telah disusun dan ditandatangani ada hal yang tidak jelas atau tidak lengkap sehingga memerlukan penafsiran.
     Untuk mengatasi masalah pelaksanaan perjanjian, dapat ditempuh dengan cara memberitahukan kepada pihak yang dirugikan secara tertulis atau lisan agar isi perjanjian ditafsir ulang dan penafsiran tersbut mengikat kedua belah pihak yang biasanya dirumuskan dalam “Tambahan Perjanjian” atau Addendum yang dirumuskan secara musyawarah dan merupakan bagain yang mengikat dan saling melengkapi dengan perjanjian induk. Pelaksanaan suatu perjanjian dapat jua terganggu apabila dalam massa pelaksanaannya terjadi hal-hal yang digolongkan keadaan memaksa (forje majeure).
     Ketentuan keadaan memaksaa diatur dalam Pasal 1244 sampai dengan 1245 KUHPerdata. Dalam pasal 1244 KUHPerdata disebutkan, “Jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membutukan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal tak terduga pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selanjutnya dalam pasal 1254 KUHPerdata “Tidak ada pengganti biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang”.
     Keadaan memaksa ini sebenarnya merupakan klausul dalam perjanjian yang terkadang tidak dirumuskan dalam isi perjanjian. Alasan keadaan memaksa tidak terjadi begitu saja, tetapi memerlukan pembuktian secara hukum, kecuali untuk hal-hal factual yang tidak dapat dipungkiri.    
b.      Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian
     Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihakharus dapat dilaksanakan dengan isi perjanjian dengan itikad baik. Namun dalam praktik kita jumpai fakta para pihak baik debitur maupun kreditur banyak yang tidak memenuhi isi perjanjian dengan berbahai alasan seperti melarikan diri atau upaya tidak terpuji lainnya. Namun ada juga salah satu pihak yang tidak mempunyai itikad baik dan melakukan ingkar janji. Melihat gejala ini seharusnya sejak awal peraturan perundang-undnagan telah mengantisipasi keadaan yang selalu mungkin terjadi di antara parappihak yang biasanya tidak dapat atau tidak mau memenuhi kewajibannya. Pada praktiknya penyelesaian perselsiihan dalam hal tidak memenuhi isi perjanjian adalah lewat :
-           Musyawarah
    Terdapat banyak cara yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam penyeleaian permasalahan perjanjian. Namun cara yang paling sering dianjurkan adalah lewat musyawarah. Melalui musyawarah para pihak dapat bertatap muka dan menyelesaikan masalah secara langsung tanpa intervensi pihak luar. Dengan pikiran positif bahwa dari awal dan selama proses pembuatan perjanjian dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan maka cukup terhormat apabila para pihak perjanjian menyelesaikan sengketa secara kekeluaraan. Hal ini didasari atas pertimbangan biaya yang murah dan proses yang cepat, tanpa menimbulkan permusuhan di antara para pihak.

-          Litigasi (melalui pengadilan)
    Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa melaui jalur hukum lewat pengadilan. Salah satu pihak mengajukan gugatan ke lembaga pengadilan atau perselisihan atau sengketa yang dialami salah satu pihak yang terikat perjanjian. Namun para pihak yang menghendaki litigasi dalam penyelesaian perselisihan tentang pelaksanaan isi suatu perjanjian harus sudah menyadari untung rugi proses legitasi.
Adapun keuntungan penyelesaian perselisihan lewat ligitasi sebagai berikut :
-          Ligitasi sangat baik untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi pihak lawan.
-          Ligitasi memberi standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didenar keterangannya sebelum mengambil keputusan.
-          Ligitasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi.
-          Legitasi merupakan alternative terbaik untuk mencari kepastian hukum lewat proses pengadilan dan keputusan hakim.
-          Dengan litigasi, keputusan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dar iitu, menjamin suatu bentuk ketertiban umum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
    Adapun kekurangan atau kerugian penyelesaian sengketa isi perjanjian lewat ligitasi sebagai berikut :
-          Memaksa para pihak pada posisi menang atau kalah.
-          Menyita waktu berkepanjangan.
-          Menggangu ketenangan kerja para pihak yang berselsih.
-          Memerlukan biaya yang cukup mahal.
-          Tidak mengupayakan perbaikan  atau pemulihan hubungan baik para pihak yang bersengketa.
-          Alternative penyelesaian sengketa
    Alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan jalan tengah yang ditempuh para pihak yang bersengketa, secara sukarela melalui prosedur yang disepakati. Adapun alternatifnya :
1.       Konsultasi
2.       Negoisasi
3.       Mediasi
4.       Konsiliasi
5.       Penilaian ahli
    Penyelesaian sengketa melalui cara ini dapat diselesaikan didasari pada itikad baik. Proses terlaksananya ditempuh dengan batasan waktu relative singkat biasanya pertemuan langsung para pihak paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
   Jika upaya ini tidak tercapai atas kesepakatan sengketa diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli atau mediator. Apabila buntu dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa dengan menunjuk seorang mediator baru dan harus mencapai kesepakatan paling lama 30 hari dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak dan didaftarakan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan kesepakatan dan keputusan ini wajib dilaksanakan sampai selesai dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak pendafatarn di Pengadilan negeri.[6]

    Dasar hukum berakhirnya perjanjian didasari Pasal 1381 KUHPerdata, “Perikatan-perikatan dapat hapus :
-          Karena pembayaran;
-          Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
-          Karena pembaruan utang;
-          Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
-          Karena percampuran utang;
-          Karena pembebasan utangnya;
-          Karena musnhanya barang yang terutang;
-          Karena kebatalan atau pembatalan;
-          Karena berlakunya suatu syarat batal;
-          Karena lewatnya waktu.
     Perjanjian yang berakhir karena undang-undang adalah :
-          Konsinyasi;
-          Musnahnya barang terutang;
-          Daluwarsa
    Adapun perjanjin yang berakhir karena perjanjian adalah :
-          Pembayaran;
-          Novasi (pembaruan utang);
-          Kompensasi;
-          Percampuran utang;
-          Kebatalan atau pembatalan;
-          Berlakunya syarat batal.
     Dalam praktik ditemukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian yang disebabkan oleh :
-          Jangka waktunya berakhir;
-          Dilaksanakannya objek perjanjian;
-          Kesepakatan kedua belah pihak;
-          Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak;
-          Adanya keputusan pengadilan.
     Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas :
1.       Perjanjian lisan.
    Yaitu perjanjian yang kesepakatan/kalusul yang diperjanjikan disepakati secara lisan. Perjanjian lisn seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan pembuktian.
2.       Perjanjian tertulis.
    Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan kata dibawah tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.
    Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak disertai dengan materai ? Apakah perjanjian itu sah, yang menjadi masalah adalah bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena hakim akan menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai kita mengatur tentang itu.
    Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
Perjanjian dengan akta otentik adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik ? Terdapat 2 pejabat yang berwenng yaitu notaries (untuk objek selain tanah) dan pejabat pembuat akta tanah/PPAT (untuk objek tanah). Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik ini adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
   
PENUTUP
      Sangat jelas bahwa perjanjian lisan merupakan kesepakatan tidak tertulis antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya. Perjanjian lisan hanya membutuhkan kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian, dalam asas kebebasan berkontrak kata sepakat dalam perjanjian lisan sering kali menjadi masalah seperti ada pihak dengan bargainin position yang lemah dipaksa atau diintimidasi oleh pihak lainnya dengan bargaining position yang lebih kuat untuk mencapai kata sepakat dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian lisan.
     Pada umumnya perjanjian dibuat tertulis antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian namun ada pula perjanjian dibuat secara lisan dimana subjek dan objek  perjanjian hanya dapat diyakini oleh para pihak yang membuat perjanjian perikatan. Dalam perjanjian yang dibuat secara lisan tidak diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti pengaturan perjanjian pada umumnya yang terdapat dalam KUHPerdata.
          Perjanjian lisan baru merupakan  perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuataan mengikat bagi para pihak yang membuat sehinga tidak mempunyai akibat hukum.
      Perjanjian secara lisan sebaiknya tidak dipergunakan karena dalam hal pembuktiannya sulit karena beban pembuktian dalam hukum perdata dibebankan pada kebenaran formil. Dan sangat jelas bahwa perjanjian secara lisan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan menjadi sulit ketika timbul sengketa atau  ketidaksesuaian pendapat.  
     Sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Perjanjian lisan ini dari segi pembuktian sulit untuk dibuktikan oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.



DAFTAR PUSTKA

Ahmad Fanani, Panduan Menulis Surat Kontrak, A Plus Books, Yogyakarta 2010

Ahmadi Miru dkk, Hukum Perikatan, Rajawali Pres, 2008

BN. Marbun, Membuat Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum, Puspa Swara Jakarta 2009

C.S.T Kansil, Hukum Perdata, Pradnya Paramita Jakarta 2006

Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda, Nuansa Aulia 2008

Gunawan Widjaja, Perikatan Yang lahir dari Undang-Undang, Raja Grafindo 2003

Kartini Muljadi, Perikatan Pada Umumnya, Rajawali Pres 2004

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika 2003

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermesa, 1982

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka 2006






















































    

















[1] BN.Marbun ,Membuat Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum,Puspa Swara Jakarta 2009 hal 3.
[2] ibid
[3] ibid
[4] Ahmadi Miru,Sakka Pati, Hukum Perikatan,Rajawali Pres Jakarta 2008 hal 1

[6]BM.Marbun,Membuat Perjanjian yang aman & sesuai Hukum,Puspa Swara 2009 hal 8

3 komentar: