Rabu, 17 Juni 2015

PEREMPUAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN




                                                                                                
TITIN TRIANA SH MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI HILIR
Abstrack
Marriage  is  the physical  and  mental  relationship  between  a  Male  and  female. Rules  as  a couple  in  order to  form  a  joy  full  and  eternal  family  on  the  basis  of  faithfulness  to  the  one god.
 The  most  important  things  in  a  family  life  is  the  marriage  agreement  which  may  become strength  and  basic  law  when  the  problem  occurs  in  a  family  life.
Keywords : The  usefull  of  Marriage  Agreement  and  it’s  goals  in  a  family  life.

     Pendahuluan
          Perkawinan  adalah  sunnatullah, Islam sangat menganjurkan perkawinan. Islam menyukai perkawinan  dan  segala  akibat,  baik  bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun  bagi kemanusian  pada  umumnya.   Perkawinan  dalam  istilah  agama  disebut  Nikah  yaitu  melakukan suatu  aqad  atau  perjanjian  untuk  mengikatkan  diri  antara  seorang  laki-laki  dan  wanita  untuk  menghalalkan  hubungan  kelamin  antara  kedua  belah  pihak,  dengan  dasar  sukarela  dan  keridhoan  kedua  belah  pihak  untuk  mewujudkan  suatu  kebahagian  hidup  berkeluarga  yang  diliputi  rasa  kasih  sayang  dan  ketentraman  dengan  cara  -   cara  yang  diridhoi  oleh  Allah.  Nikah  merupakan  suatu  perjajian  perikatan  antara  seorang  laki-laki  dan  seorang  wanita  .  Perjanjian  dalam  nikah  adalah  merupakan  perjanjian  suci  untuk  membentuk  keluarga  antara  seorang  laki-laki  dan  seorang  wanita  .  Perkawinan  menurut Undang  -  Undang  Nomor  1  Tahun  1974  pasal  1  ,  Perkawinan    ialah  ikatan  lahir bathin  antara  seorang  pria  dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa.1  Tujuan  dari  perkawinan  dalam  islam,  untuk  memenuhi  tuntutan  hajat  tabiat  kemanusiaan,  berhubungan  antara  laki-laki  dan  perempuan  dalam  rangka  mewujudkan  suatu  keluarga  yang  bahagia  dengan  dasar  cinta  dan  kasih  sayang,  untuk  memperoleh  keturunan  yang  sah  dalam  masyarakat  dengan  mengikuti  ketentuan -  ketentuan  yang  telah  diatur  oleh  Syariah.                        
          Perkawinan  sah  apabila  dilakukan  menurut  hokum  islam  dan  sesuai dengan  ketentuan  pasal 2  ayat  1  UU  Perkawinan  No. 1  tahun  1974  tentang  Perkawinan,  bahwa  perkawinan  adalah  sah  apabila  dilakukan  menurut  hokum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu.2. Perkawinan  biasanya  didasarkan  pada  prinsip  rasa  cinta,  kasih,  sayang. Ketiga  prinsip tersebut merupakan   perwujudan  dari  perjanjian  perkawinan.
      Suatu perkawinan yang didasarkan pada perinsip-perinsip tersebut dapat diandalkan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah. Oleh karena itu masalah dan konflik yang terdapat dalam hubungan perkawinan bisa dieleminir sedikit  mungkin  agar  tidak  terperosok  dalam perceraian. Jika sebuah perkawinan tidak dilengkapi dengan adanya  perjanjian perkawinan yang tertulis secara sah, sebenarnya ada satu hal yang dapat dipahami sebagai “ ikatan suci “ antara suami isteri yaitu “ akad nikah” yang telah diucapkan oleh pasangan suami isteri ketika mereka menikah. Hal ini sesungguhnya dapat mengikat hubungan perkawinan atau rumah tangga mereka di kemudian hari.

     Perjanjian perkawinan sebagai salah satu pilihan yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga, artinya perjanjian perkawinan dapat dijadikan rujukan utama, baik yang terkait dengan harta gono-gini maupun yang lain,misalnya mengenai harta bawaan,dan harta perolehan. Ada satu pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana jika suatu perkawinan tidak disertai dengan perjanjian perkawinan, Perjanjian perkawinan sifat dan hukumnya tidak wajib dan tidak diharamkan dalam arti perjanjian perkawinan itu sifat dan hukumnya adalah mubah. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hubungan suami isteri akan terasa aman karena jika suatu saat hubungan mereka ternyata bermasalah atau berujung pada perceraian, maka ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan dan dasar hukumnya, dan yang paling terpenting,dengan perjanjian perkawinan dapat melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dalam arti perjanjian perkawinan berfungsi memberikan arahan akan kesepakatan untuk tidak berbuat kekerasan dalam rumah tangga.
1.       Undang-Undang  No. 1  Tahun 1974  tentang  Perkawinana pasal 1
2.       Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 (
    Pembahasan
    Apa  itu  Perjanjian  Perkawinan
     Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin sebelum perkawinan dilangsungkan, dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan.
     Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami isteri. Menurut Soetojo Prawiromidjojo dan Marthalena Pohon menjelaskan bahwa tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.
     Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta kekayaan akan dibagi jika terjadi perpisahan, baik karena perceraian maupun kematian, dan mengatur juga yang berkenaan dengan keentingan masa depan rumah tangga, seperti pengaturan anak,pendidikan, komitmen terhadap tidak adanya kekerasaan dalam hubungan pekawinan.
     Secara hokum perjanjian perkawinan diperbolehkan berdasarkan hokum positif yang berlaku di Indonesia,baik berdasarkan UU Perkawinan, KUHPer, Kitab Hukum Islam.
     Menurut  Pasal  29  Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa :
(1)     Pada waktu  atau  sebelum  perkawinan  dilangsungkan,  kedua  pihak atas persetujuan bersama dapat  mengadakan  perjanjian  tertulis  yang  disahkan  oleh  Pegawai  pencatat  perkawinan,  setelah  mana  isinya  berlaku  juga  terhadap  pihak  ketiga  sepanjang  pihak  ketiga  tersangkut.
(2)      Perjanjian  tersebut  tidak  dapat  disahkan  bilamana  melanggar  batas-batas  hokum,  agama  dan kesusilaan.
(3)      Perjanjian  tersebut  mulai  berlaku  sejak  perkawinan  dilangsungkan.
(4)      Selama  perkawinan  berlangsung  perjanjian  tersebut  tidak  dapat  dirubah,  kecuali  bila  dari  kedua  belah  pihak  ada  persetujuan  untuk  merubah  dan  perubahan  tidak  merugikan  pihak  ketiga.3.
3. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 29 tentang Perjanjian Perkawinan

    Tujuan Perjanjian Perkawinan
    Ada banyak tujuan dari perjanjian perkawinan diantaranya :
1.       Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut Undang-Undang.
2.       Ada nya pemisahan antara harta suami tetap menjadi hartanya, dan harta isteri juga tetap menjadi hatanya sendiri, dan ketika dibagi, harta keduanya dipisahkan berdasarkan kepemilikan harta secara pribadi.
3.       Mengatur pemberian hadiah dari suami, kepada isteri atau sebaliknya atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan isteri.  KUHPER  pasal  168  mengatur  bahwa , “ Dalam  mengadakan  perjanjian  perkawinan,  kedua  calon  suami  isteri  ,  yang  satu  kepada  yang  lain  dan  atau  sebaliknya,  diperbolehkan  member  setiap  hibah  yang  demikian,  sepantas  pertimbangan  mereka,  dengan  tidak  mengurangi  kemungkinan  akan  dilakukannya  pengurangan  pada  hibah  tadi,  sekedar  perbuatan  itu  kiranya  akan  merugikan  mereka,  yang  menurut  undang-undang  berhak  atas  suatu  bagian  mutlak.4
4.       Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan  yang  ditentukan  oleh  KUHPer  pasal  124   ayat   2,  sehingga  tanpa  bantuan  isterinya,  suami  tidak  dapat  melakukan  perbuatan-perbuatan  yang  bersifat  memutus.  Hal ini  juga  berlaku  terhadap  benda-benda  bergerak  yang  dibawa  isteri  atau  benda-benda  yang  diperoleh  sepanjang  perkawinan  yang  beratasnamakan  isteri. KUHPer  pasal  140  ayat  3  mengatur  bahwa, “ Selanjutnya  mereka  berhak  memperjanjikan  bahwa  kendati  berlakunya  persatuan  menurut  undang-undang  ,  namun  tanpa  persetujuan  isteri,  si  suami  tidak  boleh  memindahtangankan  atau  membebani  barang-barang  tidak  bergerak  si  isteri,  surat-surat  pendaftaran  dalam  buku  besar  tentang  perutangan  umum,  surat-surat   berharga  lainnya,  dan  piutang-piutang  atas  nama  isteri”. 5. 
5.       Mengatur pemberian testemen dari suami untuk isteri atau sebaliknya,  atau  sebagai  hibah  timbale  balik.  Ketentuan  tentang  hibah  ini  diatur  dalam  KUHPer  pasal  169,    Hibah  yang  demikian  ada  yang  terdiri  atas  harta  benda  yang  telah  tersedia  dan  dengan  jelas  diterangkan  pula  dalam  akta  hibahnya,  dan  ada  yang  terdiri  atas  seluruh  atau  sebagian  warisan  pemberi  hadiah”.6
6.       Mengatur pemberian hadiah oleh pihak ketiga kepada suami atau isteri.  Hal  ini  diatur  dalam  KUHPer  pasal  176,  “Baik  dengan  perjanjian  perkawinan  maupun  dengan  akta  notaries  tersendiri,  yang  dibuat  sebelum  dan  berhubungan  member  setiap  hibah  yang  demikian,  sepantas  pertimbangan  mereka  kepada  calon  suami  isteri  atau  salah  seorang  dari  mereka,  dengan  tidak  mengurangi  kemungkinan  akan  dikuranginya  hibah  tadi,  sekedar  perbuatan  itu  kiranya  akan  merugikan  mereka  yang  berhak  atas  suatu  bagian  mutlak”.7
7.       Mengatur testemen dari pihak ketiga kepada suami atau isteri, sebagaimana diatur dalam KUHPer pasal 178, “  Tiap-tiap  hibah  yang  terdiri  atas  seluruh  atau  sebagian  warisan  si  yang  memberikannya,  apa  pun  yang  dilakukan  hanya  untuk  kebahagian  suami  dan  isteri  saja,  atau  salah  seorang  dari  mereka,  selamanya  dianggap  berlangsung  untuk  kebahagian  anak  dan  keturunan  mereka  selanjutnya  jika  si  pemberi  hibah  kiranya  hidup  lebih  lama  daripada  seorang  yang  sedianya  harus  menerimanya,  dan  jika  tidak  ditentukan  lain  dalam  akta”.8
4. KUHPER pasal 168
5. KUHPER pasal  140 (3)
6. KUHPer  pasal 169
7. KUHPER pasal 176
8. KUHPER pasal 178

     Manfaat Perjanjian Perkawinan
     Perjanjian perkawinan dimata masyarakat masih terasa asing, dimana ada masyarakat yang bisa menerima konsep pemikiran tentang pembuatan perjanjian dan ada yang masih banyak masyarakat yang belum menerimanya, di dalam kenyataannya masih sedikit pasangan calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif, dan ada juga yang mengganggap bahwa perjanjian perkawinan sebagai sesuatu yang tidak lazim, matrealistis,egoisme, dan lain-lain. Masalah ini timbul disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa perkawinan adalah sesuatu sesuatu yang suci,sacral,artinya setiap pasangan yang akan menikah harus menjaga kesuciannya, dari proses menuju perkawinan hingga menata kehidupan rumah tangganya, dengan anggapan yang sacral inilah maka perjanjian perkawinan masih dianggap sebagai urusan duniawi dan tidak sepantasnya dibicarakan .
     Sebagaian masyarakat menggangap bahwa membuat perjanijiann perkawinan sama saja dengan membuat perjanjian yang lebih bersifat bisnis semata. Kesalahpahaman ini perlu diluruskan agar masyarakat tahu bahwa sesungguhnya perjanjuan perkawinan sangat penting, dan tidak dianggap sebagai wilayah keduniawian.
    Ada beberapa manfaat perjanjian perkawinan :
a.       Untuk melindungi secara hokum harta bawaan masing-masing pihak baik suami maupun isteri. Artinya  perjanjian  perkawinan  dapat  berfungsi  sebagai  media  hokum  untuk  menyelesaikan  masalah  rumah  tangga  yang  terpaksa  harus  berakhir,  baik  karena  perceraian  maupun  kematian.  Dengan  adanya  perjanjian  perkawinan  maka  akan  jelas  dibedakan  mana  yang  merupakan  harta  gono-gini  (yang  perlu  dibagi  dua  secara  merata),  dan  mana  yang  merupakan  harta  pribadi  masing-masing  (yang  tidak  perlu  dibagi).   
b.      Untuk mengamankan asset dan kondisi ekonomi keluarga.  Jika  suatu  saat  terjadi  penyitaan  terhadap  seluruh  asset  keluarga  karena  bisnis  bangkrut,  dengan  adanya  perjanjian  perkawinan  menjadi  sebuah  bantuan  untuk  menciptakan  keluarga  yang  aman.  Ketika  hendak  membuat  perjanjian  perkawinan,  pasangan  calon  pengantin  biasanya  memandang  bahwa  perkawinan  itu  tidak  hanya  membentuk  sebuah  rumah  tangga  saja,  namun  ada  sisi lain  yang  harus  dimasukkan  dalam  poin-poin  perjanjian.  Tujuannya,  tidak  lain  agar  kepentingan  mereka  tetap  terjaga.
c.       Untuk melindungi pihak perempuan, dimana hak-hak keadilan dapat terlindungi.  Perjanjian  perkawinan  dapat  dijadikan  pegangan  agar  suami  tidak  memonopolo  harta  gono-gini  dan  harta  kekayaan  pribadi  isterinya.  Di  samping  itu,  dari  sudut  pemberdayaan  perempuan,  perjanjian  tersebut  bias  menjadi  alat  perlindungan  perempuan  dari  segala  kemungkinan  terjadinya  kekerasan  dalam  rumah  tangga  (KDRT).
     Perjanjian  perkawinan  memang  tidak  diharuskan, hanya  banyak  manfaat  yang   bias  dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai  adanya  perjanjian perkawinan terlebih  dahulu.  Pemikiran tentang perlu atau tidaknya perjanjian  perkawinan  itu biasanya  didasarkan  atas  kesepakatan  antara  calon  suami  dan  calon  isteri  yang  akan  berumah  tangga.  Jika  salah  satu  dari  mereka  tidak  setuju,  hal  itu  tidak  bias  dipaksakan.  Disebabkan  sifatnya  yang   tidak  wajib,  tidak  adanya  perjanjian  perkawinan   tidak  lantas  menggugurkan  status  perkawinan   yang  ada.  Pembuatan  perjanjian  perkawinan  lebih  didorong  karena  adanya  kemungkinan  hak-hak  dari  pihak  yang  terganggu  jika  perkawinan  mereka  telah  dilangsungkan.   

      Dasar Hukum Dari Perjanjian Perkawinan
   Perjanjian perkawinan diatur dalam berbagai peraturan baik menurut UU Perkawinan, Kitab Hukum Islam,KUHPER.
    Peraturan tentang perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan dalam pasal 29 (1) : “ Pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai,pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.9
    Dalam KUHPer pasal 139 mengatur bahwa : “ Para calon suami isteri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan UU mengenai harta bersama  (persatuan bulat),  artinya  peraturan  tentang  perjanjian  perkawinan  adalah  sebagai  pengecualian  terhadap  peraturan  yang  telah  ditetapkan  sebelumnya,  asalkan  dibuat  berdasarkan  tata  social  dan  tata  tertib  umum. sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut”.10
     Dalam Kitab Hukum Islam pasal 47 (1) : “ Pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan “. Ayat 2 mengatur tentang bentuk perjanjian yang dimaksud yaitu : “ Perjanjain tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hokum Islam.11
     Berdasarkan  keentuan  dalam  ayat  2  diatas,  maka  isi  perjanjian  perkawinan  itu  mencakup  dua  kemungkinan  ,  yaitu  percampuran  harta  pribadi  (harta  gono-gini)  dan  pemisahan  harta  pencaharian  (tidak  ada  harta  gono-gini).  Disamping  itu  isi  perjanjian  juga  diperbolehkan  menetapkan  kewenangan  masing-masing  untuk  mengadakan  ikatan  hipotik  atas  harta  pribadi  dan  harta  bersama  atau  harta  bersama  atau  harta  syarikat  (sebagaimana  dinyatakan  dalam  ayat  3) 
     Perjanjian perkawinan tidak boleh di buat sesukanya, artinya  dalam pembuatannya harus dipertimbangkan pada aspek kepatutan, dan disesuaikan dengan hokum, agama, tata susila.  Hal  ini  dinyatakan  dalam  UU  Perkawinan  pasal 29   ayat   2,    Perjanjian  tersebut  tidak  dapat  disahkan  bilamana  melanggar  batas-batas  hokum,  agama,  kesusilaan  “.  Jika  ketentuan  ini  tidak  diindahkan,  perjanjian  perkawinan  yang  telah  dibuat  harus  dibatalkan.
           Perjanjian perkawinan  itu  harus  memiliki  dasar  hokum  yang  kuat,  perjanjian  perkawinan  perlu   didaftarkan  dengan akte notaries agar kekuatan hukumnya lebih kuat, se bagaimana diatur dalam KUHPER  pasal 147.12.
     Perjanjian  perkawinan  yang  telah  disepakati  oleh  pasangan  suami  isteri  harus  ditaati  dan  dipatuhi  secara  bersama-sama.  Salah  satu  pihak  tidak  boleh  melanggar  ketentuan  yang  telah  dibuat  dalam  perjanjian  perkawinan.  Jika  ternyata  ketentuan  yang  telah  dibuat  itu  dilanggar  sendiri,  status  perkawinan  bisa batal,  sebagaimana  dinyatakan  dalam  Kitab  Hukum  Islam  pasal  51,  “Pelanggaran  atas  perjanjian  perkawinan  member  hak  kepada  isteri  untuk  meminta  pembatalan  nikah  atau  mengajukannya  sebagai  alas an  gugatan  perceraian  ke  pengadilan  agama.14 
9.UU No.1 Tahun 1974 pasal 29 (1)
10. KUHPER   pasal 139
11.Kitab Hukum Islam pasal 47 (1) (2) (3)
12. UU N0. 1 Tahun 1974 pasal 29 (2)
13. KUHPER  pasal 147
14. Kitab Hukum Islam pasal 51

 Masa Berlakunya Perjanjian Perkawinan
     UU Perkawinan pasal 29 (3) mengatur bahwa : “ Perjanjian mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.”15.   Hal  senada  dinyatakan  dalam  KUHPER pasal  147  ayat  2  bahwa,  “ Perjanjian  mulai  berlaku  sejak  perkawinan  dilangsungkan”.16  Dengan  kata  lain  sebelum  perkawinan  dilangsungkan,  maka  perjanjian  perkawinan  itu  belum  berlaku .Oleh karenanya,  perjanjian  perkawinan  kadang  diisitilahkan  dengan  “perjanjian  pranikah”,  maksudnya  perjanjian  tersebut  memang  dibuat  sebelum  berlangsungnya  perkawinan. Jika  perkawinan  sudah  berlangsung,  perjanjian  tersebut  mengikat  secara  hokum  hubungan  kedua  pihak  (suami  isteri).
        Dalam Kitab Hukum Islam pasal 50 (1) : “ Perjanjian perkawinan mengenai harta , mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawa  Pencatat Nikah”.17 Dalam KUHPER pasal 154 : “ Perjanjian perkawinan seperti hibah karena perkawinan tidak berlaku, jika tidak diikuti oleh perkawinan”18. Artinya perjanjian perkawinan dapat gugur jika calon suami isteri tidak jadi melangsungkan perkawinan.
     Ada satu pertanyaan yang mungkin terlintas dalam benak kita, apakah perjanjian perkawinan yang telah dibuat dapat dicabut kembali ?  Menurut KUHPer selama perkawinan belum dilangsungkan perjanjian perkawinan masih dapat diubah. Jika perkawinan telah berlangsung, perjanjian perkawinan sama sekali tidak bisa diubah.
     Dalam pasal 148 (1) : “ Segala perubahan dalam perjanjian yang sedianya boleh diadakan sebelum perkawinan, maka tidak dapat dilakukan dengan cara lain, kecuali dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti  dalam akta perjanjian yang telah di buat sebelumnya”.19
    Perubahan  terhadap  isi  perjanjian  perkawinan  harus  dilakukan  dengan  akta  notaries.  Perubahan  tersebut  baru  bisa  dianggap  sah  jika  telah  disepakati  oleh  mereka  yang  bertindak  sebagai  pihak  ketiga,  sebagaimana  dinyatakan  dalam  pasal 148 (2) : “ Tiada suatu perubahanpun berlaku, jika pelaksanaannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh mereka yang sebelumnya telah menghadiri dan menyetujui perjanjian tersebut.”20
     Berbeda  dengan  ketentuan  KUHPer  menurut  UU  Perkawinan,  perubahan  boleh  terjadi  meskipun  perkawinan  telah  berlangsung  asalkan  disepakati  oleh  kedua  belah  pihak.
     Menurut UU Perkawinan pasal 29 ayat 4 : “ Selama masa perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat di rubah, kecuali jika dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.21
     Dalam Kitab Hukum Islam pasal 50 ayat 2 : “ Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor pegawai pencatat nikah tempat perkawinan di langsungkan.22
     Ketentuan  dalam  UU  Perkawinan  dan Kitab  Hukum  Islam  berlawanan  dengan  ketentuan  yang  diatur  dalam  KUHPER,  dalam  pasal  149, “  Setelah  perkawinan  berlangsung,  perjanjian  kawin  tidak  boleh  diubah  dengan  cara  apapun”.23.
  15. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 29 (3)
16. KUHPER  pasal 147 ayat 2
17. Kitab Hukum Islam pasal 50 (1)
18. KUHPER  pasal 154
19. KUHPER  pasal 148 (1)

20.KUHPER  pasal 148 ayat 2
2!. UU Perkawinan pasal 29 (4)
22. Kitab Hukum Islam pasal 50 (2)
23. UU Perkawinan pasal 149

      Syarat Perjanjian Perkawinan
     Sebuah perjanjian perkawinan baru dapat dianggap sah apa bila memenuhi syarat dan ketentuan  yang telah diatur dalam UU. Dalam KUHPER pasal 147 (1) (2) disebutkan bahwa : “ Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akte notaries, sebelum perkawinan berlangsung dan akan menjadi batal jika tidak di buat secara demikian “.24 Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.
     Sebuah perjanjian perkawinan harus memenuhi ketentuan :
1.       Dibuat dengan akta notaries
Dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan harus didaftarkan dan dicatatkan secara sah melalui kantor notaries, dengan adanya pencatatan ini akan diperoleh kepastian tentang kapan tanggal pembuatan perjanjian perkawinan, dan menghindari dari kemungkinan di palsukannya tanggal pembuatan akta.
2.       Dibuat sebelum perkawinan
Dengan maksud agar dapat diketahui secara jelas bahwa isi perjanjian itu dapat diterapkan oleh pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah tangganya.
    Yang perlu  diperhatikan dalam pembuatan perjanjian perkawinan, adanya keterbukaan dalam mengungkap segala kondisi keuangan yang ada, baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya perkawinan, dan pasangan calon pengantin harus menyetujui dan menandatangani isi perjanjian perkawinan tanpa ada rasa paksaan.
24.  KUHPER   pasal 147 (1) (2)


    Isi  Perjanjian
       Isi perjanjian perkawinan di buat berdasarkan kepentingan ke dua calon suami isteri dalam mengurus harta kekayaan mereka masing-masing. Berdasarkan KUHPer kedua calon suami isteri diberikan kebebasan untuk menentukan isi perjanjian perkawinan, asalkan sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka, dan tidak bertentangan dengan tata susila,tata hokum,tata agama,tata tertib masyarakatnya.  Sebagaimana  dinyatakan  dalam  KUHPer  pasal  139  bahwa  kedua  calon  suami  isteri  boleh  melakukan  penyimpangan  dari  ketentuan  yang  ditetapkan  dalam  kebersamaan  harta  kekayaan,  asalkan  tidak  bertentangan  dengan  tata  susila  dan  tata  tertib  umum.
     Dapat  dikatakan  bahwa  isi  perjanjian      
   Kebebasan yang diberikan kepada ke dua calon suami isteri untuk menentukan isi perjanjian perkawinan ternyata dibatasi oleh sejumlah peraturan yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut :    
1.       Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam KUHPer pasal 1335 : “ Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuataan hokum”. 25 Artinya perjanjian yang dibuat tidak  boleh  karena  adanya  sebab-sebab  yang  palsu  atau  terlarang.  Perjanjian  yang  dibuat  harus  didasarkan  pada  sebab-sebab  yang  jelas   dan  terang.
2.       Perjanjian yang dibuat tidak boleh melepaskan hak atas peninggalan orang-orang yang sedarah. Dalam KUHPER pasal 141 : “ Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua para calon suami isteri tidak diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan UU kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu.”26
3.       Perjanjian yang dibuat tidak boleh memuat ketentuan yang mengatur bahwa salah satu akan menanggung utang lebih besar dari bagiannya dalam laba persatuan. Dalam KUHPer pasal 142 : “ Mereka tidak boleh memperjanjikan bahwa salah seorang pihak harus membayar sebagian utang yang lebih besar dari pada bagiannya dalam laba persatuan.”27
4.       Perjanjian yang dibuat tidak boleh hanya berupa kata-kata yang menyebutkan bahwa harta perkawinan mereka diatur oleh UU asing atau istiadat setempat. Dalam KUHPER pasal 143 : “ Mereka tidak boleh dengan kata-kata sepintas lalu memperjanjikan bahwa harta perkawinan mereka diatur oleh UU luar negeri atau oleh beberapa adat kebiasaan, Kitab UU atau PP derah yang dahulu pernah berlaku di Indonesia atau dalam kerajaan Belanda dan daerah-daerah jajahannya.”28.
5. Perjanjian yang dibuat tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebagiamana yang   diatur dalam KUHPER pasal 140 (1) : “ Perjanjian yang demikian tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan kepada kekuataan suami sebagai suami dan pada kekuataan orang tua, juga tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan UU kepada si yang hidup terlama di antara suami atau isteri”29
     Dalam  hokum  positif  menyebutkan  adanya  kebebasan  bagi  pasangan  menyebutkan  adanya  kebebasan  bagi  pasangan  calon  suami  isteri  untuk  menentukan  bagaimana  isi  perjanjian  perkawinan,  asalkan  tidak  menyalahi  kaidah  yang  berlaku  dalam  tata  susila,  tata  agama,  tata  hokum,  dan tata  tertib  masyarakat, maka  dapat  dikatakan  bahwa  isi  perjanjian  perkawinan  sangat  beragam,  sebagai  contoh  ada  perjanjian  perkawinan  :
1.        Pemisahan  Harta  Kekayaan Murni
Kedua  belah  pihak  bersepakat  untuk  memisahkan  segala  macam  harta,utang,dan  penghasilan  yang  diperoleh,  baik  sebelum  perkawainan  maupun  sesudahnya.  Jika  terjadi perceraian ,  tidak ada  lagi  pembagian  harta  gono-gini  karena  telah  memperjanjikan  pemisahan  harta,utang,dan  penghasilan  selama  masa  perkawinan.
2.        Pemisahan  Harta  Bawaan
Dalam  isi  perjanjian  ini  kedua  belah  pihak  hanya  saling  memperjanjikan  macam  harta  bawaan saja,  yaitu  harta,utang,  dan  penghasilan  yang  mereka  dapat  sebelum  perkawinan.  Artinya,  jika  nantinya  terjadi  perceraian  yang  dibagi  adalah  harta  gono-gini  saja,  yaitu  harta  yang  dihasilkan  selama  perkawinan.  Harta  bawaan  sebelum  terjadinya  perkawinan  menjadi  hak  masing-masing  pasangan.
3.       Persatuan  Harta  Kekayaan
Kitab  Hukum  Islam  pasal  49  ayat  1  mengatur  bahwa, “Perjanjian  percampuran  harta  pribadi  dapat  meliputi  semua  harta,  baik  yang  dibawa  masing-masing  ke  dalam  perkawinan  maupun  yang  diperoleh  masing-masing  selama  perkawinan”.30  Menurut  ketentuan  ini,  pasangan  calon  suami  isteri  dapat  memperjanjikan  percampuran  harta  kekayaan  ,  baik  yang  mencakup  harta  gono-gini ,harta  bawaan, harta  perolehan.
     Isi  perjanjian  perkawinan  tidak  hanya  berupa  ketentuan  tentang  pemisahan  atau  persatuan  harta  kekayaan  pasangan  suami  isteri,  tetapi  juga  berisi  hal-hal  lain  di  luar  masalah  harta  benda  perkawinan.  Perjanjian  perkawinan  juga  dapat  mencantumkan  point-point  lain  di  luar  masalah  harta  benda,  asalkan  isinya  dapat  disepakati  oleh  masing-masing  pasangan  calon  pengantin.  Perjanjian  perkawinan  itu  bias  mencakup    persoalan  poligami,  mahar,  perceraian,  dan  kesempatan  istri  untuk  menempuh  pendidikan  lebih  lanjut  atau  isinya  juga  bisa  perihal  larangan  terjadinya  kekerasan  dalam  rumah  tangga  (KDRT).
     Dalam  KUHPer  diatur  empat  kemungkinan  perjanjian  perkawinan  :
1.       Persatuan  Harta  Kekayaan  Secara  Bulat.
Dalam  KUHPER  pasal  139  bahwa “ para  calon  suami  dan  isteri  dapat  membuat  perjanjian  perkawinan  mengenai  harta  bersama  (persatuan  bulat),  asalkan  tidak  menyimpang  dari  tata  susila  yang  baik  dan  tata  tertib  umum”.31  Dalam  hal  ini,  harta  suami  dan  isteri  mengalami  percampuran  atau  disebut  juga  sebagai  harta  gono-gini.
2.       Tidak  Ada  Sama  Sekali  Persatuan  Harta  Kekayaan
Didasarkan  pada  KUHPER  pasal  140  (2),  “Perjanjian  itu  tidak  boleh  mengurangi  hak-hak  yang  dilimpahkan  kepada  suami  sebagai  kepala  persatuan  suami  isteri,  si isteri  juga  berhak  memperjanjikan  bagi  dirinya,  akan  mengatur  sendiri  urusan  harta  kekayaan  pribadi,  baik  bergerak  maupun  tidak  bergerak,  dan  akan  menikmati  sendiri  pula  dengan  bebas  akan  segala  pendapatannya  secara  pribadi”32
3.       Persatuan  hasil  dan  Pendapatan
Dasarnya  adalah  KUHPER  pasal  164  yang  menyebutkan,  “ Perjanian  bahwa  antara  suami  dan  isteri  hanya  akan  berlaku  persauan  hasil  dan  pendapatan,  berarti  secara  diam-diam  suatu  ketiadaan  persatuan  harta  kekayaan  seluruhnya  menurut  undang-undang,  dan  ketiadaan  persatuan   untung  dan  rugi “.33 .  Dalam  hal  ini  persatuan  hanya  meliputi  hasil  dan  pendapatan  saja,  tidak  termasuk  persatuan  untung  dan  rugi.  Jika  terjadi  kerugian,  yang  bertanggung  jawab  adalah  suami  sebagai  kepala  rumah  tangga.  Pasal  146  juga  mengatur  bahwa,  “Dalam  hal  tidak  adanya  perjanjian-perjanjian  perkawinan,  maka  segala  hasil  dan  pendapatan  dari  harta  kekayaan  si  isteri  adalah  tersedia  bagi  suami”.33.  Artinya  jika  pasangan  calon  pengantin  tidak  membuat  perjanjian  perkawinan,  hasil  dan  pendapatan  dari  kekayaan  isteri  dapat  juga  menjadi  bagian  dari  harta  bersama  (gono-gini).
4.       Persatuan  Untung  dan  Rugi
Dasarnya  adalah  KUHPER  pasal  144,  “Ketiadaan   persatuan   harta  kekayaan  tidak  berarti  tidak  adanya  persatuan  untung  dan  rugi,  kecuali  jika  ini  pun  kiranya  dengan  tegas  ditiadakannya”.34.  Ketentuan  ini  kemudian  dinyatakan  secara  lebih  jelas  dalam  KUHPER  pasal 155,    Jika  dalam  perjanjian  perkawinan  oleh  kedua  calon  suami  isteri  hanyalah  diperjanjikan  bahwa  dalam  persatuan  perkawinan  mereka  akan  berlaku  persatuan  untung  dan  rugi,  maka  berartilah  perjanjian  yang  demikian,  bahwa  dengan  sama  sekali  tidak  berlakunya  persatuan  harta  kekayaan seluruhnya  menurut  undang-undang,  setelah  berakhirlah  persatuan  suami  isteri,  yang  diperoleh    sepanjang  perkawinan,  harus  dibagi  antara  mereka   berdua,  seperti  pun  segala  kerugian  harus  mereka  pikul  berdua  pula.”35
     Dalam  persatuan  ini,  segala  untung  dan  rugi  dipikul  bersama-sama,  sebagaimana  diatur  dalam  pasal  156,    Suami  dan  isteri  mendapat  keuntungan  persatuan  dan  memikul  kerugiannya  masing-masing  setengah  bagian,  jika  tentang  itu  dalam  perjanjian  perkawinan  tidak  adakan  ketentuan  lain”.36.  Jika  persatuan  kekayaan  suami  isteri  berakhir,  harus  dilakukan  perhitungan  secara  adil.  Jika  ternyata  menghasilkan  keuntungan,  harus  dibagi  dua,  sebagaimana  pula  jika  terjadi  kerugian.  Suami  dan  isteri  tidak  dapat  memperjanjikan  bahwa  salah  satu  pihak  harus  membayar  sebagian  utang  yang  lebih  besar  daripada  bagiannya  dalam  laba  persatuan,  sebagaimana  ditentukan  dalam  pasal  142.
25. KUHPER  pasal 1335
26. KUHPER  pasal 141
27. KUHPER pasal 142
28. KUHPER pasal 143
29. KUHPER pasal 140 (1)
30. Kitab Hukum Islam pasal 49 (1)
31. KUHPER  pasal  139
32. KUHPER  pasal 140 (2)
33. KUHPER pasal 164
34. KUHPER pasal 144
35. KUHPER pasal 155
36. KUHPER pasal 156

 
      Penutup
     Dengan  adanya  perjanjian  perkawinan  ,  kehidupan  rumah  tangga pasangan  suami  isteri  akan  aman  dan  tentram.  Sebab,  tidak  perlu  dikhwatirkan  akan  terjadinya  kecendrungan  salah  satu  pihak  untuk  memonopoli  atau  menguasai  hartaa benda  dalam  hubungan  perkawinan.  Dengan adanya  perjanjian  perkawinan  akan  mudah  memisahkan  mana  yang  merupakan  harta  gono-gini  dan  mana  yang  benar-benar  menjadi  milik  pribadi  masing-masing  pasangan.
     Dengan  perjanjian  perkawinan,  perceraian  yang  terjadi  antara  suami  isteri  akan  cepat  teratasi.  Tidak  perlu  lagi  berlama-lama  meributkan  mana  yang  menjadi  hak  masing-masing  pasangan.  Setidaknya  dengan  perjanjian  perkawinan  dapat  menjadi  pedoman  hukumm yang  dapat  dijadikan  rujukan  penting  dalam  menentukan  hak-hak  suami  dan  hak-hak  isteri  terhadap  harta  bendanya.
     Perjanjian  perkawinan  tidak  hanya  berfungsi  setelah  berakhirnya  masa  perkawinan  pasangan  suami  isteri.  Perjanjian  ini  juga  berfungsi  memberikan  arahan  kepada  pasangan  suami  isteri  agar  mengindahkan  kesepakatan  yang  telah  dibuat  ketika  akan  menikah.
     Perjanjian perkawinan  itu  tidak  perlu  dianggap  tabu  karena  memiliki  multi  fungsi  yang akan   
ari uraian diatas, sudah sangat jelas bahwa perjanjian perkawinan dalam menjalankan bahtera rumah tangga mempunyai pedoman hokum yang dapat dijadikan rujukan dalam menentukan hak-hak suami dan hak-hak isteri terhadap harta bersama. Perjanjian perkawinan juga berfungsi memberikan arahan akan kesepakatan untuk tidak berbuat kekerasan dalam rumah tangga yang bisa terjadi yang salah satu sebabnya karena factor dari harta bersama dan di perjanjian perkawinan ini akan memberikan keleluasaan kepada isteri untuk melanjutkan pendidikannya atau kesempatan dalam hal mengurus anak-anak, dan sekarang perjanjian perkawinan tidak perlu dianggap tabu lagi, karena memiliki multi fungsi yang akan mengamankan hubungan perkawinan atau rumah  tangga.
















Contoh Perjanjian Perkawinan

PERJANJIAN PERKAWINAN

 Pada hari ini….,bulan…..,tahun……, di kota ….., telah dibuat perjanjian perkawinan dari dan antara :
1.       Nama                                        :
Alamat                                          :
Tempat dan Tanggal Lahir        :
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan,
2.       Nama                                      :
Alamat                                   :
Tempat dan Tanggal lahir  :
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

Kedua belah pihak,berdasarkan itikad baik sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu sepakat untuk mengikatkan diri dan tunduk pada perjanjian ini.

Prinsip Dasar
Pasal 1
Kedua belah pihak sepakat untuk saling memiliki hak yang sama,martabat yang sama,dan kedudukan yang sama di depan hokum.

Pasal 2

Perjanjian ini adalah berasaskan pada perinsip keadilan,kesataraan,kesamaan kedudukan,hokum,dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perkawinan Monogami
Pasal 3
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada perinsipnya perkawinan ini hannya tunduk pada perkawinan monogami


Pasal 4
(1)    Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak sepakat untuk mengabaikan prinsip monogami.
(2)    Keadaan khusus tersebut adalah :
a.       Dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun setelah perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwenang,salah satu pihak berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit yang ditunjuk oleh Perjanjian ini,dinyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh keturunan.
b.      Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan pengangkatan anak (adopsi).
(3). Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perjanjian ini adalah RSB…….

Pasal 5
Pengabaian prinsip monogamy ini,selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hokum tetap.

Harta Kekayaan dan Pengelolaan Kekayaan
Pasal 6
(1)    Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi :……. (sebutkan satu persatu)
(2)    Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama.
(3)    Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hokum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) Pasal 6 di atas.
(4)    Tindakan hokum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual,menggadaikan,dan menjaminkan kepada pihak ketiga.     

Pasal 7
(1)    Harta kekayaan Pihak Kedua saat ini meliputi :….(sebutkan satu persatu)
(2)    Pengelolaan harta kekayaan Pihak kedua merupakan hak dari Pihak Kedua.
(3)    Pihak Kedua berhak untuk melakukan tindakan hokum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) Pasal 7 diatas.
(4)    Tindakan hokum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual,menggadaikan,dan menjaminkan kepada pihak ketiga.

Pasal 8
(1)    Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah harta milik bersama.
(2)    Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut dijalankan secara bersama-sama.
(3)    Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan hokum tanpa izin terhadap harta bersama termasuk namun tidak terbatas pada menjual,membeli,menggadaikan,dan menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga.

Perlindungan Anak dan Kekerasan terhadap Rumah Tangga
Pasal 9
(1)    Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
(2)    Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja dalam rumah yang merupkan tempat kediaman dan / atau tinggal dari kedua belah pihak.

Pasal 10
(1)    Kedua bbelah pihak sepakat untuk memberikan perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak.
(2)    Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu yang seimbang terhadap anak
(3)    Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan perinsip-perinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Republik Indonesia N0.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perubahan Perjanjian
Pasal 11
Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

Pasal 12
Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak bertentangan dengan hokum

Pasal 13
Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan sehingga akan melekat terhadap perjanjian ini.

Pasal 14
Perubahan perjanjian hanya sah,berlaku, dan mengikat secara hokum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri dimana perjanjian ini didaftarkan.




Perselisihan
Pasal 15
(1)    Apabila terjadi perselisihan mengenai isi dan penafsiran dari perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara damai.
(2)    Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk satu atau lebih mediator.
(3)    Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima.
(4)    Pengaturan tentang mediasi akan diatur dalam perjanjian lain yang melekat pada perjanjian ini.
(5)    Pengaturan tentang mediasi dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan.

Pasal 16
Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi,kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri … sebagai tempat penyelesaian perselisihan.

  Pihak Pertama,                                                                                                  Pihak Kedua,                             

(                          )                                                                                               (                           )









DAFTAR PUSTAKA
1.       Ash Shiddiqie,T.M.Hasbi, Pedoman Rumah Tangga, Medan : Pustaka Maju, 1971
2.       Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press,2004
3.       Hadikusuma Hilman, Hukun Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, hokum adat,hokum agama,Bandung : Maju Mandar 1990
4.       Hamid,Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta, 1978
5.       Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta : Sinar Grafika, 2006


               









 TENTANG PENULIS :
Nama                                    : TITIN TRIANA SH MH
Tempat tanggal lahir       : Pontianak 3 Maret 1976
Alamat                                  : Jl. Kembang No. 58 Tembilahan Hp. 081364648700
Pendidikan                         :  S 2 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
Pestasi                                  :
1.       Juara harapan II penyiar GTV di Tembilahan Indragiri Hilir
2.       Juara I Loma baca Puisi Tingkat Guru dan Dosen sekabupaten Indragiri Hilir
3.       Salah satu penulis buku di Perempuan Riau Bicara terbitan BKMT Provinsi Riau
4.       Salah satu penulis Jurnal Pusdatin Puanri.
5.       Salah satu penulis di Mumtaz di Tembilahan Indragiri Hilir
6.       Salah satu penulis Essai terbaik di  buku Harus Bisa yang diundang ke Jakarta oleh bapak  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
7.       Salah satu penulis di bulletin Al-Muqtadir terbitan Universitas Islam Indragiri
8.       Salah satu penulis Jurnal Terapan terbitan Kopertis X di Padang.
9.       Salah satu penulis Jurnal terbitan Universitas Islam Riau 
Profesi :
1.       Guru SMA PGRI Tembilahan
2.       Dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri Hilir     
         





Tidak ada komentar:

Posting Komentar