TITIN TRIANA SH MH
DOSEN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI HILIR
Abstrack
Marriage is the
physical and mental
relationship between a Male and female.
Rules as a couple in order
to form a joy full and
eternal family on the basis of faithfulness to the one god.
The most important things in
a family life is
the marriage agreement which may
become strength and basic law when the problem occurs in a family life.
Keywords : The usefull of Marriage Agreement and it’s goals in a family life.
Pendahuluan
Perkawinan adalah sunnatullah,
Islam sangat menganjurkan perkawinan. Islam menyukai perkawinan dan segala
akibat, baik bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun
bagi kemanusian pada umumnya.
Perkawinan dalam
istilah agama disebut
Nikah yaitu melakukan suatu aqad
atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara
kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela
dan keridhoan kedua
belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagian
hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman
dengan cara - cara yang
diridhoi oleh Allah.
Nikah merupakan suatu
perjajian perikatan antara
seorang laki-laki dan
seorang wanita .
Perjanjian dalam nikah
adalah merupakan perjanjian
suci untuk membentuk
keluarga antara seorang
laki-laki dan seorang
wanita . Perkawinan
menurut Undang - Undang
Nomor 1 Tahun
1974 pasal 1
, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Tujuan
dari perkawinan dalam
islam, untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara
laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan
suatu keluarga yang
bahagia dengan dasar
cinta dan kasih
sayang, untuk memperoleh
keturunan yang sah
dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan - ketentuan
yang telah diatur
oleh Syariah.
Perkawinan
sah apabila dilakukan menurut hokum islam
dan sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan,
bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan
menurut hokum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.2. Perkawinan biasanya didasarkan pada prinsip
rasa cinta, kasih, sayang. Ketiga prinsip tersebut merupakan perwujudan
dari perjanjian
perkawinan.
Suatu perkawinan yang didasarkan pada
perinsip-perinsip tersebut dapat diandalkan untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah, rahmah. Oleh karena itu masalah dan konflik yang terdapat
dalam hubungan perkawinan bisa dieleminir sedikit mungkin agar tidak
terperosok dalam perceraian. Jika sebuah perkawinan tidak
dilengkapi dengan adanya perjanjian
perkawinan yang tertulis secara sah, sebenarnya ada satu hal yang dapat
dipahami sebagai “ ikatan suci “ antara suami isteri yaitu “ akad nikah” yang
telah diucapkan oleh pasangan suami isteri ketika mereka menikah. Hal ini
sesungguhnya dapat mengikat hubungan perkawinan atau rumah tangga mereka di
kemudian hari.
Perjanjian perkawinan
sebagai salah satu pilihan yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga,
artinya perjanjian perkawinan dapat dijadikan rujukan utama, baik yang terkait
dengan harta gono-gini maupun yang lain,misalnya mengenai harta bawaan,dan
harta perolehan. Ada satu pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana jika suatu
perkawinan tidak disertai dengan perjanjian perkawinan, Perjanjian perkawinan
sifat dan hukumnya tidak wajib dan tidak diharamkan dalam arti perjanjian
perkawinan itu sifat dan hukumnya adalah mubah. Dengan adanya perjanjian
perkawinan, maka hubungan suami isteri akan terasa aman karena jika suatu saat
hubungan mereka ternyata bermasalah atau berujung pada perceraian, maka ada
sesuatu yang bisa dijadikan pegangan dan dasar hukumnya, dan yang paling
terpenting,dengan perjanjian perkawinan dapat melindungi perempuan dari
kekerasan dalam rumah tangga dalam arti perjanjian perkawinan berfungsi
memberikan arahan akan kesepakatan untuk tidak berbuat kekerasan dalam rumah
tangga.
1.
Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinana pasal 1
2.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 2 (
Pembahasan
Apa
itu Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan
adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin sebelum perkawinan
dilangsungkan, dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan.
Secara umum perjanjian
perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami isteri. Menurut
Soetojo Prawiromidjojo dan Marthalena Pohon menjelaskan bahwa tujuan dari
pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
yang menyangkut harta kekayaan.
Perjanjian perkawinan
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan umumnya mengatur ketentuan
bagaimana harta kekayaan akan dibagi jika terjadi perpisahan, baik karena perceraian
maupun kematian, dan mengatur juga yang berkenaan dengan keentingan masa depan
rumah tangga, seperti pengaturan anak,pendidikan, komitmen terhadap tidak
adanya kekerasaan dalam hubungan pekawinan.
Secara hokum perjanjian
perkawinan diperbolehkan berdasarkan hokum positif yang berlaku di
Indonesia,baik berdasarkan UU Perkawinan, KUHPer, Kitab Hukum Islam.
Menurut Pasal
29 Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974, ditegaskan bahwa :
(1)
Pada waktu
atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku
juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
(2)
Perjanjian
tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar
batas-batas hokum, agama
dan kesusilaan.
(3)
Perjanjian
tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian
tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila
dari kedua belah
pihak ada persetujuan
untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.3.
3. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 29 tentang
Perjanjian Perkawinan
Ada banyak tujuan dari
perjanjian perkawinan diantaranya :
1.
Membatasi atau meniadakan sama
sekali kebersamaan harta kekayaan menurut Undang-Undang.
2.
Ada nya pemisahan antara harta
suami tetap menjadi hartanya, dan harta isteri juga tetap menjadi hatanya
sendiri, dan ketika dibagi, harta keduanya dipisahkan berdasarkan kepemilikan
harta secara pribadi.
3.
Mengatur pemberian hadiah dari
suami, kepada isteri atau sebaliknya atau pemberian hadiah timbal balik antara
suami dan isteri. KUHPER pasal
168 mengatur bahwa , “ Dalam mengadakan
perjanjian perkawinan, kedua
calon suami isteri
, yang satu
kepada yang lain
dan atau sebaliknya,
diperbolehkan member setiap
hibah yang demikian,
sepantas pertimbangan mereka,
dengan tidak mengurangi
kemungkinan akan dilakukannya
pengurangan pada hibah
tadi, sekedar perbuatan
itu kiranya akan
merugikan mereka, yang
menurut undang-undang berhak
atas suatu bagian
mutlak.4
4.
Membatasi kekuasaan suami terhadap
barang-barang kebersamaan yang ditentukan
oleh KUHPer pasal
124 ayat 2,
sehingga tanpa bantuan
isterinya, suami tidak
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
bersifat memutus. Hal ini
juga berlaku terhadap
benda-benda bergerak yang
dibawa isteri atau
benda-benda yang diperoleh
sepanjang perkawinan yang
beratasnamakan isteri.
KUHPer pasal 140
ayat 3 mengatur
bahwa, “ Selanjutnya mereka berhak
memperjanjikan bahwa kendati
berlakunya persatuan menurut
undang-undang , namun
tanpa persetujuan isteri,
si suami tidak
boleh memindahtangankan atau
membebani barang-barang tidak
bergerak si isteri,
surat-surat pendaftaran dalam
buku besar tentang
perutangan umum, surat-surat
berharga lainnya, dan
piutang-piutang atas nama
isteri”. 5.
5.
Mengatur pemberian testemen
dari suami untuk isteri atau sebaliknya,
atau sebagai hibah
timbale balik. Ketentuan
tentang hibah ini
diatur dalam KUHPer
pasal 169, “
Hibah yang demikian
ada yang terdiri
atas harta benda
yang telah tersedia
dan dengan jelas
diterangkan pula dalam
akta hibahnya, dan
ada yang terdiri
atas seluruh atau
sebagian warisan pemberi
hadiah”.6
6.
Mengatur pemberian hadiah oleh
pihak ketiga kepada suami atau isteri.
Hal ini diatur
dalam KUHPer pasal
176, “Baik dengan
perjanjian perkawinan maupun
dengan akta notaries
tersendiri, yang dibuat
sebelum dan berhubungan
member setiap hibah
yang demikian, sepantas pertimbangan
mereka kepada calon
suami isteri atau
salah seorang dari
mereka, dengan tidak
mengurangi kemungkinan akan
dikuranginya hibah tadi,
sekedar perbuatan itu
kiranya akan merugikan
mereka yang berhak
atas suatu bagian
mutlak”.7
7.
Mengatur testemen dari pihak ketiga
kepada suami atau isteri, sebagaimana diatur dalam KUHPer pasal 178, “ Tiap-tiap
hibah yang terdiri
atas seluruh atau
sebagian warisan si
yang memberikannya, apa
pun yang dilakukan
hanya untuk kebahagian
suami dan isteri
saja, atau salah
seorang dari mereka,
selamanya dianggap berlangsung
untuk kebahagian anak
dan keturunan mereka
selanjutnya jika si
pemberi hibah kiranya
hidup lebih lama
daripada seorang yang sedianya harus
menerimanya, dan jika
tidak ditentukan lain
dalam akta”.8
4. KUHPER pasal 168
5. KUHPER pasal 140 (3)
6. KUHPer pasal 169
7. KUHPER pasal 176
8. KUHPER pasal 178
Manfaat Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan
dimata masyarakat masih terasa asing, dimana ada masyarakat yang bisa menerima
konsep pemikiran tentang pembuatan perjanjian dan ada yang masih banyak
masyarakat yang belum menerimanya, di dalam kenyataannya masih sedikit pasangan
calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif, dan ada
juga yang mengganggap bahwa perjanjian perkawinan sebagai sesuatu yang tidak
lazim, matrealistis,egoisme, dan lain-lain. Masalah ini timbul disebabkan oleh
keyakinan masyarakat bahwa perkawinan adalah sesuatu sesuatu yang
suci,sacral,artinya setiap pasangan yang akan menikah harus menjaga
kesuciannya, dari proses menuju perkawinan hingga menata kehidupan rumah
tangganya, dengan anggapan yang sacral inilah maka perjanjian perkawinan masih
dianggap sebagai urusan duniawi dan tidak sepantasnya dibicarakan .
Sebagaian masyarakat
menggangap bahwa membuat perjanijiann perkawinan sama saja dengan membuat
perjanjian yang lebih bersifat bisnis semata. Kesalahpahaman ini perlu diluruskan
agar masyarakat tahu bahwa sesungguhnya perjanjuan perkawinan sangat penting,
dan tidak dianggap sebagai wilayah keduniawian.
Ada beberapa manfaat
perjanjian perkawinan :
a.
Untuk melindungi secara hokum
harta bawaan masing-masing pihak baik suami maupun isteri. Artinya perjanjian
perkawinan dapat berfungsi
sebagai media hokum
untuk menyelesaikan masalah
rumah tangga yang
terpaksa harus berakhir,
baik karena perceraian
maupun kematian. Dengan
adanya perjanjian perkawinan
maka akan jelas
dibedakan mana yang
merupakan harta gono-gini
(yang perlu dibagi
dua secara merata),
dan mana yang
merupakan harta pribadi
masing-masing (yang tidak
perlu dibagi).
b.
Untuk mengamankan asset dan
kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu
saat terjadi penyitaan
terhadap seluruh asset
keluarga karena bisnis
bangkrut, dengan adanya
perjanjian perkawinan menjadi
sebuah bantuan untuk
menciptakan keluarga yang
aman. Ketika hendak
membuat perjanjian perkawinan,
pasangan calon pengantin
biasanya memandang bahwa
perkawinan itu tidak
hanya membentuk sebuah
rumah tangga saja,
namun ada sisi lain
yang harus dimasukkan
dalam poin-poin perjanjian.
Tujuannya, tidak lain
agar kepentingan mereka
tetap terjaga.
c.
Untuk melindungi pihak
perempuan, dimana hak-hak keadilan dapat terlindungi. Perjanjian
perkawinan dapat dijadikan
pegangan agar suami
tidak memonopolo harta
gono-gini dan harta
kekayaan pribadi isterinya.
Di samping itu,
dari sudut pemberdayaan
perempuan, perjanjian tersebut
bias menjadi alat
perlindungan perempuan dari
segala kemungkinan terjadinya
kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT).
Perjanjian perkawinan
memang tidak diharuskan, hanya banyak
manfaat yang bias
dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai adanya
perjanjian perkawinan terlebih
dahulu. Pemikiran tentang perlu
atau tidaknya perjanjian perkawinan itu biasanya
didasarkan atas kesepakatan
antara calon suami
dan calon isteri
yang akan berumah
tangga. Jika salah
satu dari mereka
tidak setuju, hal
itu tidak bias
dipaksakan. Disebabkan sifatnya
yang tidak wajib,
tidak adanya perjanjian
perkawinan tidak lantas
menggugurkan status perkawinan
yang ada. Pembuatan
perjanjian perkawinan lebih
didorong karena adanya kemungkinan
hak-hak dari pihak
yang terganggu jika
perkawinan mereka telah
dilangsungkan.
Perjanjian perkawinan
diatur dalam berbagai peraturan baik menurut UU Perkawinan, Kitab Hukum Islam,KUHPER.
Peraturan tentang
perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan dalam pasal 29 (1) : “ Pada waktu
atau sebelum perkawinan di langsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai,pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.9
Dalam KUHPer pasal 139
mengatur bahwa : “ Para calon suami isteri dengan perjanjian perkawinan dapat
menyimpang dari peraturan UU mengenai harta bersama (persatuan bulat), artinya
peraturan tentang perjanjian
perkawinan adalah sebagai
pengecualian terhadap peraturan
yang telah ditetapkan
sebelumnya, asalkan dibuat
berdasarkan tata social
dan tata tertib
umum. sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik
atau dengan tata tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut”.10
Dalam Kitab Hukum Islam
pasal 47 (1) : “ Pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan “. Ayat 2 mengatur tentang
bentuk perjanjian yang dimaksud yaitu : “ Perjanjain tersebut dalam ayat 1
dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hokum Islam.11
Berdasarkan keentuan
dalam ayat 2
diatas, maka isi
perjanjian perkawinan itu
mencakup dua kemungkinan
, yaitu percampuran
harta pribadi (harta
gono-gini) dan pemisahan
harta pencaharian (tidak
ada harta gono-gini).
Disamping itu isi
perjanjian juga diperbolehkan
menetapkan kewenangan masing-masing
untuk mengadakan ikatan
hipotik atas harta
pribadi dan harta
bersama atau harta
bersama atau harta
syarikat (sebagaimana dinyatakan
dalam ayat 3)
Perjanjian perkawinan
tidak boleh di buat sesukanya, artinya
dalam pembuatannya harus dipertimbangkan pada aspek kepatutan, dan
disesuaikan dengan hokum, agama, tata susila.
Hal ini dinyatakan
dalam UU Perkawinan
pasal 29 ayat 2, “ Perjanjian
tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar
batas-batas hokum, agama,
kesusilaan “. Jika
ketentuan ini tidak
diindahkan, perjanjian perkawinan
yang telah dibuat
harus dibatalkan.
Perjanjian perkawinan itu
harus memiliki dasar
hokum yang kuat, perjanjian perkawinan
perlu didaftarkan dengan akte notaries agar kekuatan hukumnya
lebih kuat, se bagaimana diatur dalam KUHPER pasal 147.12.
Perjanjian perkawinan
yang telah disepakati
oleh pasangan suami
isteri harus ditaati
dan dipatuhi secara
bersama-sama. Salah satu
pihak tidak boleh
melanggar ketentuan yang
telah dibuat dalam perjanjian perkawinan.
Jika ternyata ketentuan
yang telah dibuat
itu dilanggar sendiri,
status perkawinan bisa batal,
sebagaimana dinyatakan dalam
Kitab Hukum Islam
pasal 51, “Pelanggaran
atas perjanjian perkawinan
member hak kepada
isteri untuk meminta
pembatalan nikah atau
mengajukannya sebagai alas an
gugatan perceraian ke
pengadilan agama.14
9.UU No.1 Tahun 1974 pasal 29 (1)
10. KUHPER pasal 139
11.Kitab Hukum Islam pasal 47 (1) (2) (3)
12. UU N0. 1 Tahun 1974 pasal 29 (2)
13. KUHPER pasal 147
14. Kitab Hukum Islam pasal 51
Masa Berlakunya Perjanjian Perkawinan
UU Perkawinan pasal 29
(3) mengatur bahwa : “ Perjanjian mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.”15.
Hal
senada dinyatakan dalam
KUHPER pasal 147 ayat
2 bahwa, “ Perjanjian
mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan”.16 Dengan
kata lain sebelum
perkawinan dilangsungkan, maka
perjanjian perkawinan itu
belum berlaku .Oleh karenanya, perjanjian
perkawinan kadang diisitilahkan
dengan “perjanjian pranikah”,
maksudnya perjanjian tersebut
memang dibuat sebelum
berlangsungnya perkawinan.
Jika perkawinan sudah
berlangsung, perjanjian tersebut
mengikat secara hokum
hubungan kedua pihak
(suami isteri).
Dalam
Kitab Hukum Islam pasal 50 (1) : “ Perjanjian perkawinan mengenai harta ,
mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal
dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawa
Pencatat Nikah”.17 Dalam KUHPER pasal 154 : “ Perjanjian perkawinan
seperti hibah karena perkawinan tidak berlaku, jika tidak diikuti oleh
perkawinan”18. Artinya perjanjian perkawinan dapat gugur jika calon suami
isteri tidak jadi melangsungkan perkawinan.
Ada satu pertanyaan yang
mungkin terlintas dalam benak kita, apakah perjanjian perkawinan yang telah
dibuat dapat dicabut kembali ? Menurut
KUHPer selama perkawinan belum dilangsungkan perjanjian perkawinan masih dapat
diubah. Jika perkawinan telah berlangsung, perjanjian perkawinan sama sekali
tidak bisa diubah.
Dalam pasal 148 (1) : “
Segala perubahan dalam perjanjian yang sedianya boleh diadakan sebelum
perkawinan, maka tidak dapat dilakukan dengan cara lain, kecuali dengan akta
dan dalam bentuk yang sama, seperti dalam
akta perjanjian yang telah di buat sebelumnya”.19
Perubahan terhadap
isi perjanjian perkawinan
harus dilakukan dengan
akta notaries. Perubahan
tersebut baru bisa
dianggap sah jika
telah disepakati oleh
mereka yang bertindak
sebagai pihak ketiga,
sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 148 (2) : “ Tiada suatu perubahanpun berlaku, jika pelaksanaannya
tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh mereka yang sebelumnya telah menghadiri
dan menyetujui perjanjian tersebut.”20
Berbeda dengan
ketentuan KUHPer menurut
UU Perkawinan, perubahan
boleh terjadi meskipun
perkawinan telah berlangsung
asalkan disepakati oleh
kedua belah pihak.
Menurut UU Perkawinan
pasal 29 ayat 4 : “ Selama masa perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut
tidak dapat di rubah, kecuali jika dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.21
Dalam Kitab Hukum Islam
pasal 50 ayat 2 : “ Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas
persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor pegawai
pencatat nikah tempat perkawinan di langsungkan.22
Ketentuan dalam
UU Perkawinan dan Kitab
Hukum Islam berlawanan
dengan ketentuan yang
diatur dalam KUHPER,
dalam pasal 149, “
Setelah perkawinan berlangsung,
perjanjian kawin tidak
boleh diubah dengan
cara apapun”.23.
15. UU Perkawinan No.1 Tahun
1974 pasal 29 (3)
16. KUHPER pasal 147 ayat 2
17. Kitab Hukum Islam pasal 50 (1)
18. KUHPER pasal 154
19. KUHPER pasal 148 (1)
20.KUHPER pasal 148 ayat 2
2!. UU Perkawinan pasal 29 (4)
22. Kitab Hukum Islam pasal 50 (2)
23. UU Perkawinan pasal 149
Sebuah perjanjian
perkawinan baru dapat dianggap sah apa bila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam UU. Dalam KUHPER
pasal 147 (1) (2) disebutkan bahwa : “ Perjanjian perkawinan harus dibuat
dengan akte notaries, sebelum perkawinan berlangsung dan akan menjadi batal
jika tidak di buat secara demikian “.24 Perjanjian itu akan mulai berlaku pada
saat perkawinan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.
Sebuah perjanjian
perkawinan harus memenuhi ketentuan :
1.
Dibuat dengan akta notaries
Dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan harus didaftarkan dan
dicatatkan secara sah melalui kantor notaries, dengan adanya pencatatan ini
akan diperoleh kepastian tentang kapan tanggal pembuatan perjanjian perkawinan,
dan menghindari dari kemungkinan di palsukannya tanggal pembuatan akta.
2.
Dibuat sebelum perkawinan
Dengan maksud agar dapat diketahui secara jelas bahwa isi perjanjian
itu dapat diterapkan oleh pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah
tangganya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan perjanjian
perkawinan, adanya keterbukaan dalam mengungkap segala kondisi keuangan yang
ada, baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya perkawinan, dan pasangan calon
pengantin harus menyetujui dan menandatangani isi perjanjian perkawinan tanpa
ada rasa paksaan.
24. KUHPER pasal
147 (1) (2)
Isi Perjanjian
Isi perjanjian
perkawinan di buat berdasarkan kepentingan ke dua calon suami isteri dalam
mengurus harta kekayaan mereka masing-masing. Berdasarkan KUHPer kedua calon
suami isteri diberikan kebebasan untuk menentukan isi perjanjian perkawinan,
asalkan sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka, dan tidak bertentangan
dengan tata susila,tata hokum,tata agama,tata tertib masyarakatnya. Sebagaimana
dinyatakan dalam KUHPer
pasal 139 bahwa
kedua calon suami
isteri boleh melakukan
penyimpangan dari ketentuan
yang ditetapkan dalam
kebersamaan harta kekayaan,
asalkan tidak bertentangan
dengan tata susila
dan tata tertib
umum.
Dapat dikatakan
bahwa isi perjanjian
Kebebasan yang diberikan kepada ke dua calon
suami isteri untuk menentukan isi perjanjian perkawinan ternyata dibatasi oleh
sejumlah peraturan yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut :
1.
Perjanjian yang dibuat tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan dalam KUHPer pasal 1335 : “ Suatu
perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuataan hokum”. 25 Artinya perjanjian yang
dibuat tidak boleh karena
adanya sebab-sebab yang
palsu atau terlarang.
Perjanjian yang dibuat
harus didasarkan pada sebab-sebab yang jelas dan
terang.
2.
Perjanjian yang dibuat tidak
boleh melepaskan hak atas peninggalan orang-orang yang sedarah. Dalam KUHPER pasal
141 : “ Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua para calon suami isteri
tidak diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan UU kepada mereka atas
harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah pun tidak boleh
mengatur harta peninggalan itu.”26
3.
Perjanjian yang dibuat tidak
boleh memuat ketentuan yang mengatur bahwa salah satu akan menanggung utang
lebih besar dari bagiannya dalam laba persatuan. Dalam KUHPer pasal 142 : “ Mereka
tidak boleh memperjanjikan bahwa salah seorang pihak harus membayar sebagian
utang yang lebih besar dari pada bagiannya dalam laba persatuan.”27
4.
Perjanjian yang dibuat tidak
boleh hanya berupa kata-kata yang menyebutkan bahwa harta perkawinan mereka
diatur oleh UU asing atau istiadat setempat. Dalam KUHPER pasal 143 : “ Mereka
tidak boleh dengan kata-kata sepintas lalu memperjanjikan bahwa harta
perkawinan mereka diatur oleh UU luar negeri atau oleh beberapa adat kebiasaan,
Kitab UU atau PP derah yang dahulu pernah berlaku di Indonesia atau dalam
kerajaan Belanda dan daerah-daerah jajahannya.”28.
5. Perjanjian yang dibuat tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan
sebagiamana yang diatur dalam KUHPER pasal 140 (1) : “
Perjanjian yang demikian tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan
kepada kekuataan suami sebagai suami dan pada kekuataan orang tua, juga tidak
boleh mengurangi hak-hak yang diberikan UU kepada si yang hidup terlama di
antara suami atau isteri”29
Dalam hokum
positif menyebutkan adanya
kebebasan bagi pasangan
menyebutkan adanya kebebasan
bagi pasangan calon
suami isteri untuk
menentukan bagaimana isi
perjanjian perkawinan, asalkan
tidak menyalahi kaidah
yang berlaku dalam
tata susila, tata
agama, tata hokum,
dan tata tertib masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa isi
perjanjian perkawinan sangat
beragam, sebagai contoh
ada perjanjian perkawinan
:
1.
Pemisahan
Harta Kekayaan Murni
Kedua belah pihak
bersepakat untuk memisahkan
segala macam harta,utang,dan penghasilan
yang diperoleh, baik
sebelum perkawainan maupun
sesudahnya. Jika terjadi perceraian , tidak ada
lagi pembagian harta
gono-gini karena telah
memperjanjikan pemisahan harta,utang,dan penghasilan
selama masa perkawinan.
2.
Pemisahan
Harta Bawaan
Dalam isi perjanjian
ini kedua belah
pihak hanya saling
memperjanjikan macam harta
bawaan saja, yaitu harta,utang,
dan penghasilan yang
mereka dapat sebelum
perkawinan. Artinya, jika
nantinya terjadi perceraian
yang dibagi adalah
harta gono-gini saja,
yaitu harta yang
dihasilkan selama perkawinan.
Harta bawaan sebelum
terjadinya perkawinan menjadi
hak masing-masing pasangan.
3.
Persatuan Harta
Kekayaan
Kitab Hukum Islam
pasal 49 ayat
1 mengatur bahwa, “Perjanjian percampuran
harta pribadi dapat
meliputi semua harta,
baik yang dibawa
masing-masing ke dalam
perkawinan maupun yang
diperoleh masing-masing selama
perkawinan”.30 Menurut ketentuan
ini, pasangan calon
suami isteri dapat
memperjanjikan percampuran harta
kekayaan , baik
yang mencakup harta
gono-gini ,harta bawaan,
harta perolehan.
Isi perjanjian
perkawinan tidak hanya
berupa ketentuan tentang
pemisahan atau persatuan
harta kekayaan pasangan
suami isteri, tetapi
juga berisi hal-hal
lain di luar
masalah harta benda
perkawinan. Perjanjian perkawinan
juga dapat mencantumkan
point-point lain di
luar masalah harta
benda, asalkan isinya
dapat disepakati oleh
masing-masing pasangan calon
pengantin. Perjanjian perkawinan
itu bias mencakup
persoalan poligami,
mahar, perceraian, dan
kesempatan istri untuk
menempuh pendidikan lebih
lanjut atau isinya
juga bisa perihal
larangan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga
(KDRT).
Dalam KUHPer
diatur empat kemungkinan
perjanjian perkawinan :
1.
Persatuan Harta
Kekayaan Secara Bulat.
Dalam KUHPER pasal
139 bahwa “ para calon
suami dan isteri
dapat membuat perjanjian
perkawinan mengenai harta
bersama (persatuan bulat),
asalkan tidak menyimpang
dari tata susila
yang baik dan
tata tertib umum”.31
Dalam hal ini,
harta suami dan
isteri mengalami percampuran
atau disebut juga
sebagai harta gono-gini.
2.
Tidak Ada
Sama Sekali Persatuan
Harta Kekayaan
Didasarkan pada KUHPER
pasal 140 (2),
“Perjanjian itu tidak
boleh mengurangi hak-hak
yang dilimpahkan kepada
suami sebagai kepala
persatuan suami isteri,
si isteri juga berhak
memperjanjikan bagi dirinya,
akan mengatur sendiri
urusan harta kekayaan
pribadi, baik bergerak
maupun tidak bergerak,
dan akan menikmati
sendiri pula dengan
bebas akan segala
pendapatannya secara pribadi”32
3.
Persatuan hasil
dan Pendapatan
Dasarnya adalah KUHPER
pasal 164 yang
menyebutkan, “ Perjanian bahwa
antara suami dan
isteri hanya akan
berlaku persauan hasil
dan pendapatan, berarti
secara diam-diam suatu
ketiadaan persatuan harta
kekayaan seluruhnya menurut
undang-undang, dan ketiadaan
persatuan untung dan
rugi “.33 . Dalam hal
ini persatuan hanya
meliputi hasil dan
pendapatan saja, tidak
termasuk persatuan untung
dan rugi. Jika
terjadi kerugian, yang
bertanggung jawab adalah
suami sebagai kepala
rumah tangga. Pasal
146 juga mengatur
bahwa, “Dalam hal
tidak adanya perjanjian-perjanjian perkawinan,
maka segala hasil
dan pendapatan dari
harta kekayaan si
isteri adalah tersedia
bagi suami”.33. Artinya
jika pasangan calon
pengantin tidak membuat
perjanjian perkawinan, hasil
dan pendapatan dari
kekayaan isteri dapat
juga menjadi bagian
dari harta bersama
(gono-gini).
4.
Persatuan Untung
dan Rugi
Dasarnya adalah KUHPER
pasal 144, “Ketiadaan
persatuan harta kekayaan
tidak berarti tidak
adanya persatuan untung
dan rugi, kecuali
jika ini pun
kiranya dengan tegas
ditiadakannya”.34. Ketentuan ini
kemudian dinyatakan secara
lebih jelas dalam
KUHPER pasal 155, “
Jika dalam perjanjian
perkawinan oleh kedua
calon suami isteri
hanyalah diperjanjikan bahwa
dalam persatuan perkawinan
mereka akan berlaku
persatuan untung dan
rugi, maka berartilah
perjanjian yang demikian,
bahwa dengan sama
sekali tidak berlakunya
persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut
undang-undang, setelah berakhirlah
persatuan suami isteri,
yang diperoleh sepanjang
perkawinan, harus dibagi
antara mereka berdua,
seperti pun segala
kerugian harus mereka
pikul berdua pula.”35
Dalam persatuan
ini, segala untung
dan rugi dipikul
bersama-sama, sebagaimana diatur
dalam pasal 156,
“ Suami dan
isteri mendapat keuntungan
persatuan dan memikul
kerugiannya masing-masing setengah
bagian, jika tentang
itu dalam perjanjian
perkawinan tidak adakan
ketentuan lain”.36. Jika
persatuan kekayaan suami
isteri berakhir, harus
dilakukan perhitungan secara
adil. Jika ternyata
menghasilkan keuntungan, harus
dibagi dua, sebagaimana
pula jika terjadi
kerugian. Suami dan
isteri tidak dapat
memperjanjikan bahwa salah
satu pihak harus
membayar sebagian utang
yang lebih besar
daripada bagiannya dalam
laba persatuan, sebagaimana
ditentukan dalam pasal
142.
25. KUHPER pasal 1335
26. KUHPER pasal 141
27. KUHPER pasal 142
28. KUHPER pasal 143
29. KUHPER pasal 140 (1)
30. Kitab Hukum Islam pasal 49 (1)
31. KUHPER pasal 139
32. KUHPER pasal 140 (2)
33. KUHPER pasal 164
34. KUHPER pasal 144
35. KUHPER pasal 155
36. KUHPER pasal 156
Penutup
Dengan adanya
perjanjian perkawinan ,
kehidupan rumah tangga pasangan suami
isteri akan aman
dan tentram. Sebab, tidak
perlu dikhwatirkan akan
terjadinya kecendrungan salah
satu pihak untuk
memonopoli atau menguasai
hartaa benda dalam hubungan
perkawinan. Dengan adanya perjanjian
perkawinan akan mudah
memisahkan mana yang
merupakan harta gono-gini
dan mana yang
benar-benar menjadi milik
pribadi masing-masing pasangan.
Dengan perjanjian
perkawinan, perceraian yang
terjadi antara suami
isteri akan cepat
teratasi. Tidak perlu
lagi berlama-lama meributkan
mana yang menjadi
hak masing-masing pasangan.
Setidaknya dengan perjanjian
perkawinan dapat menjadi
pedoman hukumm yang dapat
dijadikan rujukan penting
dalam menentukan hak-hak
suami dan hak-hak
isteri terhadap harta
bendanya.
Perjanjian perkawinan
tidak hanya berfungsi
setelah berakhirnya masa
perkawinan pasangan suami
isteri. Perjanjian ini
juga berfungsi memberikan
arahan kepada pasangan
suami isteri agar
mengindahkan kesepakatan yang
telah dibuat ketika
akan menikah.
Perjanjian
perkawinan itu tidak
perlu dianggap tabu
karena memiliki multi
fungsi yang akan
ari uraian diatas, sudah sangat jelas bahwa perjanjian perkawinan
dalam menjalankan bahtera rumah tangga mempunyai pedoman hokum yang dapat
dijadikan rujukan dalam menentukan hak-hak suami dan hak-hak isteri terhadap
harta bersama. Perjanjian perkawinan juga berfungsi memberikan arahan akan
kesepakatan untuk tidak berbuat kekerasan dalam rumah tangga yang bisa terjadi
yang salah satu sebabnya karena factor dari harta bersama dan di perjanjian
perkawinan ini akan memberikan keleluasaan kepada isteri untuk melanjutkan
pendidikannya atau kesempatan dalam hal mengurus anak-anak, dan sekarang
perjanjian perkawinan tidak perlu dianggap tabu lagi, karena memiliki multi
fungsi yang akan mengamankan hubungan perkawinan atau rumah tangga.
Contoh Perjanjian
Perkawinan
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pada hari
ini….,bulan…..,tahun……, di kota ….., telah dibuat perjanjian perkawinan dari
dan antara :
1.
Nama :
Alamat :
Tempat dan Tanggal Lahir :
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, untuk
selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan,
2.
Nama :
Alamat :
Tempat dan Tanggal lahir :
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk
selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak,berdasarkan itikad baik sepakat untuk mengikatkan
diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu sepakat untuk mengikatkan diri
dan tunduk pada perjanjian ini.
Prinsip Dasar
Pasal 1
Kedua belah pihak sepakat untuk saling memiliki hak yang
sama,martabat yang sama,dan kedudukan yang sama di depan hokum.
Pasal 2
Perjanjian ini adalah berasaskan pada perinsip
keadilan,kesataraan,kesamaan kedudukan,hokum,dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia.
Perkawinan Monogami
Pasal 3
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada perinsipnya perkawinan ini
hannya tunduk pada perkawinan monogami
Pasal 4
(1)
Dalam keadaan khusus, kedua
belah pihak sepakat untuk mengabaikan prinsip monogami.
(2)
Keadaan khusus tersebut adalah
:
a.
Dalam jangka waktu 15 (lima
belas) tahun setelah perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwenang,salah satu
pihak berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit yang ditunjuk oleh
Perjanjian ini,dinyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh keturunan.
b.
Kedua belah pihak sepakat untuk
tidak melakukan pengangkatan anak (adopsi).
(3). Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perjanjian ini adalah RSB…….
Pasal 5
Pengabaian prinsip monogamy ini,selain harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hokum tetap.
Harta Kekayaan dan Pengelolaan Kekayaan
Pasal 6
(1)
Harta kekayaan Pihak Pertama
saat ini meliputi :……. (sebutkan satu persatu)
(2)
Pengelolaan harta kekayaan
Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama.
(3)
Pihak Pertama berhak untuk
melakukan tindakan hokum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1) Pasal 6 di atas.
(4)
Tindakan hokum tersebut
termasuk namun tidak terbatas pada menjual,menggadaikan,dan menjaminkan kepada
pihak ketiga.
Pasal 7
(1)
Harta kekayaan Pihak Kedua saat
ini meliputi :….(sebutkan satu persatu)
(2)
Pengelolaan harta kekayaan
Pihak kedua merupakan hak dari Pihak Kedua.
(3)
Pihak Kedua berhak untuk
melakukan tindakan hokum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1) Pasal 7 diatas.
(4)
Tindakan hokum tersebut
termasuk namun tidak terbatas pada menjual,menggadaikan,dan menjaminkan kepada
pihak ketiga.
Pasal 8
(1)
Harta Kekayaan yang diperoleh
oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah harta milik
bersama.
(2)
Pengelolaan harta kekayaan
bersama tersebut dijalankan secara bersama-sama.
(3)
Salah satu pihak tidak
dibenarkan untuk melakukan tindakan hokum tanpa izin terhadap harta bersama
termasuk namun tidak terbatas pada menjual,membeli,menggadaikan,dan menjaminkan
harta bersama kepada pihak ketiga.
Perlindungan Anak dan Kekerasan terhadap Rumah Tangga
Pasal 9
(1)
Kedua belah pihak sepakat untuk
tidak melakukan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagaimana telah
diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
(2)
Kedua belah pihak sepakat
segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota
keluarga inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja dalam rumah yang
merupkan tempat kediaman dan / atau tinggal dari kedua belah pihak.
Pasal 10
(1)
Kedua bbelah pihak sepakat
untuk memberikan perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak.
(2)
Kedua belah pihak sepakat untuk
memberikan waktu yang seimbang terhadap anak
(3)
Kedua belah pihak sepakat untuk
menerapkan perinsip-perinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak
dan Undang-undang Republik Indonesia N0.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Perubahan Perjanjian
Pasal 11
Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua
belah pihak.
Pasal 12
Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap ketentuan yang
belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak bertentangan dengan hokum
Pasal 13
Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan sehingga akan
melekat terhadap perjanjian ini.
Pasal 14
Perubahan perjanjian hanya sah,berlaku, dan mengikat secara hokum
bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan pengesahan dari Ketua
Pengadilan Negeri dimana perjanjian ini didaftarkan.
Perselisihan
Pasal 15
(1)
Apabila terjadi perselisihan
mengenai isi dan penafsiran dari perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat
untuk menyelesaikannya secara damai.
(2)
Apabila penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak
sepakat untuk menunjuk satu atau lebih mediator.
(3)
Mediator berjumlah ganjil yang
jumlahnya sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima.
(4)
Pengaturan tentang mediasi akan
diatur dalam perjanjian lain yang melekat pada perjanjian ini.
(5)
Pengaturan tentang mediasi
dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan.
Pasal 16
Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua
belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi,kedua belah pihak
sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri … sebagai tempat penyelesaian
perselisihan.
Pihak Pertama,
Pihak Kedua,
(
)
( )
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ash Shiddiqie,T.M.Hasbi,
Pedoman Rumah Tangga, Medan : Pustaka Maju, 1971
2.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum
Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press,2004
3.
Hadikusuma Hilman, Hukun
Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, hokum adat,hokum agama,Bandung
: Maju Mandar 1990
4.
Hamid,Zahri, Pokok-Pokok Hukum
Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta, 1978
5.
Ramulyo, Mohd Idris, Hukum
Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006
TENTANG PENULIS :
Nama :
TITIN TRIANA SH MH
Tempat tanggal lahir :
Pontianak 3 Maret 1976
Alamat :
Jl. Kembang No. 58 Tembilahan Hp. 081364648700
Pendidikan : S 2 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
Pestasi :
1.
Juara harapan II penyiar GTV di
Tembilahan Indragiri Hilir
2.
Juara I Loma baca Puisi Tingkat
Guru dan Dosen sekabupaten Indragiri Hilir
3.
Salah satu penulis buku di
Perempuan Riau Bicara terbitan BKMT Provinsi Riau
4.
Salah satu penulis Jurnal
Pusdatin Puanri.
5.
Salah satu penulis di Mumtaz di
Tembilahan Indragiri Hilir
6.
Salah satu penulis Essai
terbaik di buku Harus Bisa yang diundang
ke Jakarta oleh bapak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
7.
Salah satu penulis di bulletin
Al-Muqtadir terbitan Universitas Islam Indragiri
8.
Salah satu penulis Jurnal Terapan
terbitan Kopertis X di Padang.
9.
Salah satu penulis Jurnal
terbitan Universitas Islam Riau
Profesi :
1.
Guru SMA PGRI Tembilahan
2.
Dosen di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indragiri Hilir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar